22 kaki menjejak langkah pada titian batu gunung Ungaran

, 0 Comments



Terik matahari memacu langkah

Mendaki gunung adalah tentang bagaimana cara hidup, bagaimana cara mensyukuri kehidupan, dan bagaimana cara untuk terus menemukan hakikat kehidupan, sebuah perjalanan untuk mencapai puncak penuh makna.    

Jogjakarta 14 Juni 2014, 11.00 Wib, sahabat Lamperan The Explorer mulai melangkah meninggalkan kota penuh mimpi ini untuk menuju titik pencapaian, Gunung Ungaran, sebuah gunung yang terbilang pendek dengan ketinggian 2050 MDPL yang terletak diantara Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Kendal. Motor terus melaju dalam pancaran terik matahari, menikmati kepulan asap, deru suara truk, barisan bis, deretan mobil dan berbagai pertanda kemajuan peradaban lainnya. Meski panas, perjalanan menuju Ungaran cukuplah lancar. Sebagaimana rencana yang telah disepakati, maka pendakian gunung Ungaran ini akan dimulai dari Pos Mawar.

Pos Mawar dapat ditempuh dari Jogja menuju arah semarang. Setelah melewati Museum Palagan Ambarawa tepatnya di pasar Ambarawa ini kita ambil belok kiri (arah Bandungan) sampai ketemu pasar Jimbaran.  Tepat pada pertigaan pasar Jimbaran apabila belok kiri menuju objek wisata Candi Gedong Songo dan apabila belok kanan menuju objek wisata Umbul Sido Mukti. Perjalanan dilanjutkan dengan mengambil arah Umbul Sido Mukti atau belok kanan di pertigaan pasar jimbaran, sebagaimana letak base camp mawar adalah berada tepat di atas lokasi wisata ini, rute selanjutnya untuk menuju basecamp mawar berupa jalan kecil yang berliku dan menanjak yang sudah di pafing blok.

Sampai di loket wisata Umbul Sidomukti setiap kendaraan dimintai uang retribusi sebesar Rp 2.000 per motor meski kita hanya lewat saja dan tidak bermaksud berwisata di situ, perjalanan terus menanjak dan akan bertemu loket lagi yang setiap orang diminta membayar Rp 4.000 katanya tiket kawasan (kawasan apa ya?, mungkin kawasan pacaran, lebih banyak di sana orang berdua-duaan, wow), masih terus menanjak barulah akan sampai di base camp Mawar yang setiap pendaki hanya membayar Rp. 3.000 per orang dan Rp 2.000 per motor untuk parkir, ini tiket yang sebenarnya, dua loket awal tadi sebut saja loket bayangan atau pos bayangan.


Di base camp mawar ini terdapat beberapa tenda yang sudah berdiri, bagi yang ingin menikmati suasana gunung tanpa mendaki maka tempat ini sudah lumayan asyik. Udaranya yang sejuk, pemandangan kota dan gedung-gedung yang melintang jauh di bawah sana sudah sedikit beraroma khas pemandangan pegunungan, selain itu juga ditunjang dengan adanya beberapa warung  yang siap memanjakan lidah.

Matahari mulai mendekat dengan malam, ada aura senja di balik puncak sana


Waktu terus berpacu menggerakkan detik, pukul 16.45 tas carrier sudah siap di punggung. Perjalanan sesungguhnya akan segera dimulai. Ki Juru Pandu segera memimpin doa memohon pada yang kuasa agar perjalanan lancar tanpa halangan. Bismillah…

Rute pertama dari base camp mawar ini masih berupa semak-semak perdu dan medan yang lumayan landai sehingga mata dimanjakan dengan pemandangan di sekitarnya. Pemandangan di bawah adalah kota Ambarawa dan Semarang yang mulai berkilauan, namun sayang sore itu kabut lai mumenjelma di depan mata sehingga puncak Ungaran nampak di balik kabutnya. Sekitar 20 menit perjalanan barulah kita masuk ke vegetasi yang mulai ditumbuhi kayu-kayu besar, beberapa nampak ditumbuhi lumut-lumut tebal pertanda matahari jarang bercengkerama dengannya. Untuk penunjuk arah sudah lumayan jelas terpasang di mana-mana jadi tidak perlu khawatir tersesat, bahkan setiap pendaki yang mendaftar juga dibekali peta jalur pendakian. 

Melalui pos Mawar ini pendaki juga akan melewati sungai yang airnya sangat jernih dan sejuk, bisa juga untuk mengambil air buat perbekalan. Untuk mencapai sungai ini kurang lebih dibutuhkan waktu 45 menit dari base camp. Konser alam dengan simfoni orkestra burung dan serangga menghiasi langit senja, sampai di sungai ini langit sudah semakin dekat dengan malam. Rute setelah sungai mulai berupa tanjakan-tanjakan kecil dengan tanah liat licin, apalagi kalau sehabis gerimis diperlukan kehati-hatian untuk melewatinya. Tiga puluh menit berikutnya kita akan mendapatkan Pos II Pronojiwo, di pos ini telah dibangun shelter yang cukup nyaman untuk beristirahat.

Medan berikutnya setelah Pos II merupakan medan landai  karena memang jalur ini sepertinya memutari punggungan bukit dari arah timur menuju arah utara gunung Ungaran. Bagi yang berstamina lebih medan ini bisa dilalui dengan cepat. Hawa dingin pegunungan mulai terasa merambat ke pori-pori, punggung mulai basah oleh keringat, sementara kabut tipis tak jua pergi. Perjalanan sudah hampir satu setengah jam akhirya kita mendapati mata air kecil, sebentar lagi akan masuk kawasan kebun kopi, dan benar tak seberapa lama dari mata air ini maka kita memasuki perkebunan kopi yang sangat luas. Nampak beberapa rumah atau tepatnya gubug di bangun diperkebunan ini mungkin untuk penyimpanan hasil panen atau untuk istirahat para petaninya, terdapat juga kolam penampungan air yang cukup melimpah airnya.

Beberapa pohon kopi sudah berbuah dengan biji-bijinya yang memerah, siap untuk dipanen. Pendaki harus menyusuri kebun kopi ini kurang lebih 15 menit untuk kemudian bertemu dengan kebun teh yang juga memakan jarak tempuh kurang lebih 15 menit. Kebun teh dan kebun kopi ini sangat luas bahkan di tengah-tengahnya ada perkampungan yang disebut kampung Promasan. Kampung Promasan adalah kampung para petani pemetik kopi dan pemetik teh, dan kampung ini juga merupakan jalur pendakian melalui Boja kabupaten Kendal. Bagi pendaki dari jalur Mawar yang ingin beristirahat di kampung Promasan ini maka harus berbelok ke kanan pada pertigaan yang terdapat pada kebun teh, namun bila ingin terus ke puncak maka ambil jalan belok kiri dan terus menanjak.

Kabut semakin tebal, badan mulai terkuras tenaganya, akhirnya kami putuskan untuk beristirahat sejenak di kebun teh sambil menikmati perbekalan yang ada. Meluruskan kaki, mengoles balsem, merekatkan plaster pereda nyeri dan juga menghibur serta mengurut kaki sahabat Riska yang tadi terkilir sebelum melewati mata air. Nampak beberapa pendaki yang juga beristirahat sambil bercanda ria, menikmati kabut setelah tepian senja. Malam sudah terasa.

Malam, keringat menetes di tanjakan seribu batu

Badan mulai menggigil karena terlalu lama beristirahat, perjalanan pun dilanjutkan. Perjalanan dari base camp menuju kebon teh ini bisa dibilang sangat ringan karena didominasi oleh medan yang landai, namun setelah keluar dari kebuh teh dan melanjutkan perjalanan ke puncak, maka medan yang sesungguhnya baru dihadapi. Hampir tidak ada bonus, medan setelah kebun teh ini berupa tanjakan-tanjakan terjal dengan undakan batu-batu besar. Bahkan beberapa batu hampir satu meter membentuk undakan alami yang memacu semangat untuk dilangkahi. Pepohonan tumbang turut menyumbang keharmonisan suasana, tak jarang kita harus mengendap di bawah kayu yang melintang di jalur pendakian atau juga harus melangkahinya. Bisa dikatakan jalur yang cukup rapat ini mempunyai sensasi sendiri di antara harmoni batu dan pepohonan tumbangnya itu. Kabut yang semakin tebal dan percikan-percikan tipis embun tertiup angin membuat jarak pandang terbatas. Di depan mata hanya nampak tanjakan batu dan batu yang menanjak, itu saja.

Kebersamaan dan persahabatan diuji di medan ini. Tangan saling menggapai agar langkah kawan menjadi ringan, ego disingkirkan agar perjalanan menggembirakan, dan jangan lupa senter harus dinyalakan agar jalan terang benderang, andai saja tidak berkabut mungkin temaram rembulan mampu memberi sedikit kegemerlapan. Beberapa kali kami harus istirahat untuk meluruskan kaki kembali dan juga menambah asupan gizi, karena tenaga cukup terkuras di medan ini.

Kurang lebih satu setengah jam pendakian medan terjal ini,  akhirnya  kami menemukan satu tenda yang telah berdiri di area yang cukup lapang serta diiringi pula oleh lagu dangdutnya yang menggema. Puncak tak jua nampak karena kabutnya, pilihan terbaik adalah kita ikut mendirikan tenda dan bisa segera menghangatkan badan. Segera tim mencari tempat yang cukup untuk mendirikan tiga tenda, meski kami hanya bersebelas namun tiga tenda kami persiapkan agar istirahat bisa nyaman. Tenda pertama segera didirikan untuk dua perempuan hebat diantara kami, Riska dan Vina. Tenda kedua pun menyusul untuk Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Gembul Anggi Jatmiko, Mustofa Raja Selfi, dan Banyu Awut Arfan Sodik. Bersamaan juga tenda ketiga telah berdiri siap menampung badan lusuh Oyil Khoiril Mawahib, Bos Sudah Jadi Arif Yuswanto, Sudaryanto Tanpa Su, Lurah Aqib Prayogo dan Si Rahasia Fadhli.

Carrier dan semua perbekalan segera masuk tenda. Sepanci penuh air dijerang, namun belum masuk ke dalam gelas seduh kopinya, si Banyu Awut Arfan Sodik sudah melakoni perannya, basahlah teras tenda. Ia pun segera menjerang lagi sepanci air agar badan segera hangat. Di kompor kedua kepulan asap gulai ayam mulai tercium aromanya menggoda perut yang sudah menantikan khasiatnya. Makan malam pun digelar, sebungkus nasi putih dengan lauk gulai ayam ditemani secangkir kopi dan susu jahe, Ungaran yang hangat dan mempesona.

Sesekali rembulan timbuI tenggelam di balik kabut, sembunyi di balik kuasa-Nya. Sesekali pula Puncak Ungaran nampak menunggui kami untuk dicumbui esok pagi. Ternyata puncak sudah dekat, namun tak apalah tenda sudah berdiri agar besok punya cerita Summit Attack. Istirahat sudah cukup, obrolan mengalir kesana kemari, dua kelopak mata mulai beradu, namun masih ada kewajiban yang tertunda. Tayamum embun di semak-semak begitu damai, mengumandangkan kalimat untuk memuji keagungan-Nya. Kedamaian menghadap-Nya di puncak gunung selalu memberi kesan yang tak ternilai. Terimakasih Tuhan masih terus Kau karuniakan kesempatan ini.

Malam dengan gagahnya merengkuh jiwa raga kami, esok masih ada cerita, jam 00.00 saat yang tepat untuk merangkai mimpi dalam sleeping bag, matras dan tenda. Have Nice Dream every body….

Pagi, Sunrise di balik kabut dan puncak yang riuh

Jam 04.00 Ki Juru Pandu mulai membangunkan semua sahabat, nampak disekeliling beberapa tenda yang sudah berdiri begitu juga para pendaki lain yang telus hilir mudik menuju puncak. Sepertinya puncak akan penuh sesak manusia. Kompor kembali melakukan perannya untuk secangkir kopi pagi yang hangat, setelah dua rokaat didirikan dan beberapa perbekalan seperluanya dipersiapkan segeralah kami bergegas menuju puncak dengan meninggalkan Riska untuk tetap beristirahat di tenda berhubung kakinya yang terkilir mulai membengkak

Matahari malu-malu untuk bersinar, tak ubahnya rembulan semalam, kabut ternyata lebih dekat denganya. Kurang lebih tiga puluh menit puncak kita raih. Riuh para pemburu keajaiban alam mengabadikan pose masing-masing, gunung Ungaran pagi itu sangat ramai. Puncak Ungaran ditandai dengan adanya tugu Benteng raider yang gagah bertengger, areanya berupa dataran cukup luas untuk mendirikan tenda, nampak tenda berjejeran seperti perkampungan sehari. Di sisi barat daya nampak Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro Gagah menguasai langit, nampak juga gunung perahu di belakangngya. Di sisi Selatan barisan Gunung Merbabu, Gunung Merapi, si imut Andong dan Telomoyo juga tak mau kalah menampakkan kegagahannya. Sedangkan di sisi tenggara giliran Gunung Lawu yang mengundang rindu. Sahabat Lamperan The Explorer pun tak mau ketinggalan untuk mengambil beberapa pemandangan dan pose untuk diabadikan sebagai saksi sejarah perjalanan. 


Hampir satu jam kami menyinggahi puncak, segera kami turun kembali ke tenda untuk agenda berikutnya. Hanya sekitar sepuluh menit kami sudah berada di tenda lagi. Agenda berikutnya adalah menyiapkan menu sarapan, koki-koki dadakan siap beraksi. Menu sarapan pagi itu adalah sandwich isi ayam keju dan dan sandwich isi sosis goreng, pagi yang sempurna.

Motivasi terhebat naik gunung adalah kembali ke rumah


Matahari mulai menyengat, perut sudah terisi, energi sudah mulai terkumpul, tenda dipacking, sampah-sampah dimasukkan kantong plastik untuk dibawa turun kembali, tas carrier menyinggahi punggung lagi,  perjalanan pulang segera dimulai. Jarum jam menunjukkan 09.15 Wib untuk memulai doa dan langkah turun. Bismillah…

Perjalanan turun begitu terasa sensasinya mengingat semalam lebih banyak bersekawan dengan kabut yang membatasi pemandangan. Batu-batu besar terus menghadang dengan senyum manis dan ajakan untuk segera melewatinya, perkampungan dan kota nampak kecil di bawah sana, bukit-bukit dan onggokan batu-batu besarnya menjadi penyegar mata yang mempesona. Sungguh indah ciptaan-Nya.

Perjalanan turun ini lumayan ramai, beberapa pendaki dari kelompok lain silih berganti mendahului atau kita dahului. Ada juga beberapa pendaki yang baru melakukan perjalanan naik. Saling tegur sapa, tak jarang bercanda ria, Ungaran dengan persahabatan pendaki yang nyata. Kurang lebih empat jam akhirnya kami sampai ke base camp Mawar, cukup lama memang dari waktu tempuh normal yang bisa dicapai di bawah tiga jam. Namun inilah cara menikmati perjalanan sesungguhnya, tak perlu tergesa-gesa, rasakan setiap angin yang membelai langkah, rasakan setiap jengkal tanah, nikmati setiap kerikil yang berserakan, nikmati setiap daun yang hijau di pelupuk mata, setiap detailnya adalah kenangan yang tak terlupa.

Sampai di base camp kompor segera di gelar kembali untuk mendidihkan semangkuk mie instan dan sisa gulai ayam yang telah melalui fase perjalanan naik turun gunung Ungaran, makan siang yang sederhana tapi penuh kebersamaan. Empat rokaat segera ditunaikan, agenda berikutnya adalah menuju objek wisata Umbul Sido Mukti untuk menikmati kembali Flying Fox dan Marine Bridge-nya. Meski sudah lumayan sore lokasi wisata Umbul Sido Mukti masih saja ramai, maklum week end. Puas menikmati permainan, pukul 16.00 Wib sahabat Lamperan The Explorer pun segera bergegas untuk kembali ke Yogyakarta, bertemu kembali sahabat, kawan, keluarga  dan handai taulan.

Ungaran, setiap langkah mendakimu adalah keindahan yang terus bergerak di setiap laju darah, semoga Tuhan mengijinkan kami untuk kembali menjumpaimu di lain waktu dalam keindahan, dalam kedamaian, dalam kegembiraan, dalam kebersamaan dan dalam kesyukuran yang sangat. Terima kasih Tuhan atas keindahan yang Engkau Ciptakan.

Dalam penuh kebersamaan, kami sahabat Lamperan The Explorer:
Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Oyil Khoiril Mawahib, Gembul Anggi Jatmiko, Si Rahasia M. Nur Fadhli, Akhirnya Jadi Bos Arif Yuswanto, Lurah Aqib Prayogo, Vina Angon Bebex, Riska Bola Bali, Sudaryanto Tanpa Su, Mustofa Raja Selfi, dan Banyu Awut Arfan Sodik.

Other View
Tebing batu
Napak tilas tenda
 Bongkahan batu "ilusi wajah harimau :)"
Menghela nafas di batuan sungai
ci luk ba.....
Senyuman setelah sarapan
Merbabu dan Merapi
Sebuah bukit
gelang sepatu gelang
Kaki mulai terasa pegal waktu turun
Asli Lukisan Tuhan
Lukisan Cinta
 Sebelum pulang


 Sungai sebelum pos II
  
Kebun teh
 Pulang mendekati basecamp
 Menu sarapan
Sarapan
 
Nampak Sumbing dan Sindoro

Sholeh Fasthea

Anak kesayangan Tuhan, penikmat tidur siang. Menyukai jalan-jalan untuk memburu sepi. Nampak untuk tak terlihat, berjuang untuk tak dikenang.

0 komentar:

Bagaimana dengan pengalaman perjalananmu?