Berlayar Tanpa Layar ke Gunung Prau

, 3 Comments

Nenek moyangku orang pelaut/ gemar mengarungi luas samudra/ menerjang ombak tiada takut/ Menempuh badai sudah biasa.

Jadi ceritanya kita mau berlayar? Oh tidak. Tapi kita naik Prau saja? Loh kok? Bukannya Prau itu di laut? Bukan, ini nama gunung.

Prau dalam bahasa jawa artinya kurang lebih adalah perahu atau kapal laut. Setidaknya itu menurut saya, terus kalau gunung yang di wonosobo itu apa betul diberi nama prau yang berarti perahu atau kapal laut karena berbentuk menyerupainya? Entahlah. Kemarin pas saya naik ga sempet nanya sama penjaga base campnya, lawong itu base camp sesak penuh manusia kok.

Di atas tadi penggalan dialog siapa ya?
Kerja terus kapan pikniknya? Kuliah terus kapan jalan-jalannya?
Lagi-lagi retorika….


Oke. Kali ini Lamperan The Explorer akan kembali bercerita tentang eksplorasi tim ke gunung Prau, salah satu destinasi wisata favorit di negeri para dewa, kawasan wisata Dieng Plateu.

Say goodby to Jogja


Jumat 15 Mei 2015, pukul 15.00 perjalanan menuju Wonosobo dimulai. Eh eh… gunung Prau itu ikut administrasi Wonosobo apa Banjarnegara ya? Tanya gubernur Jateng dulu sana!.

Jogja kita tinggal dulu ya. Kemudian jogja menjawab: Pergi saja, ga pulang juga ga papa, kalian Cuma bikin sesak Jogja saja. Kami tertegun. Sedikit. Dalam hati, tanpa lubuk. :D
Sore itu enam ekor kuda besi melaju menyusuri rute Jogja-Magelang-Borobudur-Sapuran-Kertek-Wonosobo-Dieng.

Rute ini merupakan rute terdekat untuk menuju kawasan wisata Dieng dari arah Jogja. Yang asyik dari rute ini adalah lumayan sepi dengan suguhan pemandangan khas pedesaan yang ajib gile, terutama setelah memasuki rute dari Borobudur-Sapuran-Kertek. Berlika-liku ga jalannya? Jelas kalau itu, seperti hidupmu yang penuh lika-liku. Tapi yang penting cepet laku.

Rahasia Tiga Cerek


Sampai di kota Wonosobo, langit sudah gelap. Tapi di alun-alunnya lumayan terang. Ya iyalah banyak lampu disitu. Badan sudah pegal, mejeng-mejeng diki bolehlah di alun-alun wonosobo. Cari angkringan asyik deh. Lah kok ga di Jogja ga di Wonosobo ngangkring melulu sih?.

Ohya iseng-iseng kita tanya sama mas-masnya yang jual angkringan, kenapa cereknya (tekonya) mesti tiga biji?. Kata si masnya sebagai hiasan saja, sekalian sebagai penutup agar bara apinya ga bikin panas pengunjung yang duduk di depannya. Bahkan mas angkringan yang asli berasal dari Parakan Temanggung ini sampai membuktikan bahwa satu diantara dua cerek itu ga ada isinya. Alias bener-bener cuma hiasan. Kesimpulannya, setiap tukang angkringan punya jawaban beda-beda ketika ditanya filosofi tiga cerek di angkringannya. Emang pernah tanya ma penjual angkringan lainnya? Ya iyalah disempetin? Kok sempet-sempetnya sih, emang lagi penelitian skripsi apa?

Menuju Base Camp


Dari kota wonosobo menuju base camp gunung Prau masih membutuhkan waktu sekitar 30 sampai 45 menit. Medan jalan kebanyakan berupa tanjakan dan kelokan yang indah pake banget. Tapi waktu itu malam hari. Keindahannya dibayangkan saja.

Basecamp Patak Banteng (Dari namanya saya sempat berfikir apa disitu dulu banyak kepala banteng ya. Patak=Kepala/ Jawa) merupakan salah satu base camp favorit para pendaki dari arah Wonosobo. Lamperan The Explorer telah googling informasi bahwa bas ecamp Patak Banteng telah pindah. Namun pada waktu kami hendak membelokkan motor ketika menemui plang base camp Patak Banteng, tiba-tiba seorang bapak-bapak menyuruh kami untuk memakirkan motor di base camp yang dulu. Sama aja dong. Ya sudah, kami nurut saja. Eh la sampai disitu ternyata sudah penuh sesak. Akhirnya kami disuruh parkir di masjid, eh di halaman masjid maksudnya. Alhamdulillah, sekalian menunaikan kewajiban dan MCK gratis. Sayangnya retribusi parkir di situ cukup malakin kita orang, yaitu 10 K @. Beda sama di gunung-gunung lain yang rata-rata setengahnya. Ini sekedar kritik saja ya, semoga mas-masnya ngerti. Bukan masalah angka, tapi kok ya ga sreg aja gitu di dompet tuh.

Malam itu Patak Banteng bener-bener berjibun kepala manusia. Kepala lele dan kepala ayam juga banyak, apalagi ayam kampung hem….., tapi kepala-kepala itu dah digoreng di warung. Kalau lapar ya mampir saja dulu.

Pendakian atau Antrian sembako gratis?


Pukul 23.00, setelah istirahat cukup lama, setelah perut terisi beberapa camilan, setelah belanja beberapa perlengkapan tambahan, dan setelah-setelah yang lainnya banyak sekali, pendakian pun dimulai. Dari tempat parkir ini kita kembali berjalan menuju base camp (Baru) untuk mendaftarkan diri. Cukup Rp. 10.000 saja untuk tiket pulang pergi naik Prau tanpa layar, kalau ini sih wajar. Tap, ternyata pemirsa, di base camp juga berjibun kendaraan parkir. La terus tadi kenapa kita ga boleh, mau belok dan parkir di situ. Ini pasti perebutan wilayah kekuasaan, hahahahaha jangan-jangan ada haji lungtulung di situ….. sok politis.

Prau memang dikenal sebagai salah satu gunung dengan spot sunrise terbaik. Alasan inilah yang menjadikan Prau menjadi salah satu golden destination untuk berburu cahaya emas di pagi buta. Sepanjang jalur pendakian hampir tidak putus manusia terengah-engah nafasnya, bahkan beberapa kali kita harus ngantri ketika melewati medan terjal. Ini orang pada mau ke gunung atau mau pada ke balai desa ambil sembako gratis ya….ramai bener?


Medan pertama berupa lahan pertanian penduduk yang didominasi oleh tanaman kentang. Ada juga sih beberapa tanaman daun bawang, buncis, sawi dan sayur lainnya. Kalau saja ada petani yang jual di situ kayaknya enak deh kalau buat bekal. Terus buat oseng-oseng gitu tinggal tambahin sosis siap santap hemmm…….delicioso. Tapi yang ada malah para penjual gorengan, dari mulai pisang goreng, kentang goreng, tempe kemul, mendoan, tempe kripik, dan teman-teman gorengan lainnya. Sebentar-sebentar…… kok tiga nama gorengan terakhir itu kayaknya makanan yang sama ya, iya ga sih?. Coba lakukan riset saja.

Pada umumnya jalur pendakian Prau didominasi oleh tanjakan yang lumayan terjal. Jika habis terkena hujan jalur akan lumayan licin mengingat struktur tanah yang labil dan berlumpur. Tapi untungnya pada beberapa bagian tanjakan telah dibangun oleh masyarakat sekitar dengan memberi undakan berupa bambu. Tentu ini sangat membantu. Meskipun terkadang jalur licin itu ada manfaatnya, terutama bagi cowok yang sok pahlawan pura-pura nolong gebetannya yang manja-manja gimana gitu pura-pura mau terpeleset, atau juga bermanfaat bagi jomblo yang lagi berusaha menyelamatkan calon jodohnya dari bahaya terpeleset juga, ingat ya calon jodohnya, maksudnya calon jodohnya orang lain. Kebanyakan orang yang dekat denganmu itu hanyalah titipan tuhan, titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh jodoh sesungguhnya.

Ayam Bakar Versus Kehangatan Sleeping Bag


Sekitar pukul 01.30 kami sampai di camping ground area atau sunrise camp. Ada berapa tenda yang sudah berdiri? Ratusan…. Prau sudah berubah menjadi gundukan tenda. Ya sudahlah, sekalian saja kita ikut berdesak-desakan siapa tahu nanti ada hawa hangat bersinggungan.

Tenda sudah berdiri, tapi hawa hangat itu belum juga hinggap. Maka air panas segera dijerang, tak lupa ingkung ayam yang sudah menempuh jalur panjang Jogja-prau akhirnya menemukan juga bara arang panasnya. Beberapa tim malah sudah tidur pulas, Novi dan Ninin tak rela perutnya diganjal daging ayam bakar yang empuk lagi mak nyuss nyuss nyusss. Anggap saja begitu. Mereka memilih melahap dingin dalam kantung sleeping bag. Anget dong?. Masya Allah.

Rini, Laila dan Sefi perlahan mendekat juga, pasti mereka tergoda dengan aroma kulit terbakar berbumbu kecap di sepertiga malam yang terakhir (Bukannya tahajud malah pada begadang mantengin ayam). Astagfirullah. Nanda (Coba tebak cewek apa cowok?) yang tadinya sudah meringkuk di SB dipaksa bangun juga. Terkadang di puncak gunung, tidur itu lebih nikmat daripada menyantap makanan lezat. Tapi ingat, dalam kondisi dingin dan capek, pendaki harus memastikan bahwa asupan energi tetap maksimal agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat fatal seperti hipotermia dan penyakit bahaya lainnya. Bahkan pusing karena perut lapar, sepertinya terdengar seperti penyakit ringan, bisa jadi merupakan salah satu gejala yang bisa jadi berakibat pingsan.


Ayam bakar sudah disantap. Ngobrol-ngobrol dikit sudah mantap. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat. Mau tidur tanggung, karena sunrise sebentar lagi muncul. Tapi ya tetap saja dengkur membahana, apalagi yang namanya Arif Yuswanto juragan demisioner 2014. Kalau sudah masalah tidur, sepertinya Arif selalu tergila-gila, seperti tergila-gilanya Arif sama ceweknya, maksudnya cewek dalam bayangan semunya. Oyil apalagi, sudah jauh-jauh hari merencanakan ke Prau tetapi Sunrisenya cukup di dalam hangatnya sleeping bag, untung dia punya ketrampilan Photoshop. La terus kenapa repot-repot naik gunung ya? Jawabannya hanya Tuhan dan Oyil yang tahu. Banyu Awut Arfan Sodik parah lagi, katanya mau bersolawat menunggu matahari akhirnya juga terlelap dalam mimpinya bertemu bidadari yang nyangkut di terminal Temanggung, eh pas didatengin ternyata tu bidadari lagi nunggu cowok lain, mak nyas rasanya. Nanda jangan ditanya, mungkin dia memang merasa lelah, katanya mau cerita ke mamaknya di Lampung kalau telah melihat sunrise Prau, eh ceritanya cukup lewat mimpi juga. Pasukan lipstik sepertinya yang sebagian pada melek, tapi ya ga tahu juga kebenarannya, kan kita beda tenda. Hatinya aja yang sama, sama-sama merasa sehati. Ah masak sih????. Nampaknya hanya ki juru pandu yang terus nutup telinga ga kuat ngedengrin teriakan-teriakan allay berseliweran di puncak gunung.


Prau Itu yang Bikin Greget Bukan Gunung Praunya itu Sendiri, Melainkan Sinar Matahari yang Menerangi Gunung-Gemunung di Sekitarnya


Pukul 05.00 WIB, para pemburu cahaya emas sudah siap dengan kameranya. Jangan sebut kata selfi disana, pasti semua orang melakukannya. Apalagi si krucil Sefi, namanya saja beda-beda dikit sama selfi bukan? Tak ketinggalan para krucil yang lain pasang badan, dijamin batre kameranya sampai ngedrop. Maklum krucil magifo, mahasiswa gila foto. Pagi itu sunrise benar-benar istimewa, lebih istimewa dari Cherry Belle tentunya. Apalagi Anisa Rahma dah ga jadi personilnya, makin biasa aja jadinya. Tapi katanya Cherry Belle masih lumayan istimewa terutama bagi Joda Akbar (jomblo muda berlagak sabar) macam si banyu awut mak nyas Arfan Sodik dan marketing mobil semut Arif Yuswanto contohnya.

Langit nampak cerah. Semburat keemasan melingkari angkasa. Gunung gemunung menunjukkan kegagahan sekaligus kecantikannya. Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Ungaran dan lamat-lamat jauh Lawu menebar pesona. Semua mewujudkan panorama lukisan alam yang tiada bandingnya. Hanya syukur yang bisa merasakan kedamaian ciptaan-Nya. Tuhan memang Maha Istimewa.


Cahaya matahari semakin terang, pemandangan gunung Prau berubah menjadi jejalan tenda dan kepala manusia. Coba hitung berapa jumlah manusia yang belum cuci muka? Pasti banyak ya, bahkan mungkin tak terhingga. Lagian siapa juga yang mau nyempetin menghitung kan?. Kami mencoba memutari menuju bukit teletubbies, hem…sayangnya tidak ada Tingky Wingky, Dipsi, Lala dan Pooh disana. Berjalan keatas bukit sebelah barat, satu lagi eksistensi Tuhan menampakkan gagahnya. Gunung Slamet yang masih berstatus waspada.

Pemandangan yang lebih dekat juga tak kalah mempesona, kepulan asap sulfatara kawah sikidang, Candi Arjuna, serta telaga Warna dan Telaga Pengilon begitu damai bersemayam dalam dingins. Lengkap sudah lukisan alam menyempurnakan eksistensi-Nya.

Sayonara


Matahari mulai terik, perut sudah kembali terisi beberapa Logistik. Semua lukisan alam sudah dicapture untuk dibawa pulang. Maka tenda dan seluruh peralatan segera dipacking. Tak lupa sampah masuk trash bag biar kembali ke asalnya. Perjalanan pulang tak kalah hebat dengan perjalanan pendakiannya, maksudnya tak kalah hebat ngantrinya. Anggap saja seperti kumpulan ribuan balita ngantri mau turun lewat eskalator, dijamin rusuh. Parah gila. Begitu kok di gunung. Begitu kok ya kami termasuk salah satunya.

Pukul 14.30 WIB. Istirahat sudah cukup lama, badan sudah wangi lagi, apalagi digebyur dengan mandi air panas cap 5000, cacing-cacing perut sudah dikondisikan dengan semangkuk bakso (sayangnya tak begitu recommended) dan sepiring nasi prasmanan lengkap dengan lauk-pauknya (kalau ini mantap, ala-ala warteg pedes gitu), maka perjalanan pulang dimulai. Jogja selalu menyisipkan rindu untuk kembali bersua.

Sayonara Prau, layarmu tak berkibar, tapi cahaya emasmu terus mengibarkan kerinduan yang tak terkira. Semoga suatu saat yang damai, engkau tetap bisa menikmati sunyimu tanpa perusuh seperti kami.










Salam Lestari, salam satu jiwa, salam satu bumi, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.

Lamperan The Explorer in action;
Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Oyil Spesialis sweeper Khoiril Mawahib, Marketing mobil semut Arif Yuswanto, Banyu Awut Mak nyas Arfan Sodik, Rini bukan menterinya jokowi bukan juga penyanyi, dan kali ini bersama krucil-krucil baru: Nanda, Novi, Laila, beserta teman-teman baru yang masih krucil-krucil juga: Ninin, dan Sefi.

Sholeh Fasthea

Anak kesayangan Tuhan, penikmat tidur siang. Menyukai jalan-jalan untuk memburu sepi. Nampak untuk tak terlihat, berjuang untuk tak dikenang.

3 komentar:

Bagaimana dengan pengalaman perjalananmu?