Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL
Hy Guys...
Keyboard kembali dipencet, huruf-huruf tertulis
Pos kali ini Lamperan The Explorer akan berbagi cerita perjalanan menuju Mt. Sumbing, salah satu gunung berapi di pulau Jawa, semoga menginspirasi ya...
Sekitar pukul 19.30 Wib sahabat Lamperan The Explorer baru berkumpul, mereka bersebelas, setelah packing perlengkapan maka langsung meninggalkan Yogyakarta untuk segera meluncur menuju Magelang Jawa Tengah. Lebih tepatnya untuk menuju rumah dimana tim akan menginap semalam dulu untuk sekedar bersilaturahmi sekaligus menyiapkan diri.
Setelah makan bersama, minum bersama, cerita bersama (kalau cerita sendiri namanya orang gila ya), maka agenda berikutnya adalah tidur bersama. Malam gelap, larut dengan kepingan asa yang menggumpal untuk perjalanan esok hari.
Hadap kanan Grak, dilihat dari luar rumah, pagi itu puncak Gunung Sumbing masih malu di balik kabutnya, namun kegagahannya mempesona. Suara langkah menapakinya sudah terdengar di gendang telinga. Mata terus memandang, kabut tersibak, puncak Sumbing mulai terlihat menunjukkan betapa indah bentuk Cinta-NYA. Dari Gunung Sumbing itu air mengalir, ladang-ladang subur, dan irama kehidupan umat manusia mengitarinya. Begitupun warga kampung mulai hilir mudik menuju ladangnya guna menambatkan harapan untuk hari depan bagi seluruh keluarganya. Sungguh tak terbantah anugerah-NYA.
Sarapan dimulai, manjakan dulu perutmu, nanti di puncak tidak ada warteg, warung padang, apalagi restoran seafood. Kopi disedu, niat dibulatkan. Segala perlengkapan dipacking serapi mungkin, sekedar tips packing, peralatan dikelompokkan sesuai jenisnya, masukkan kedalam tas kecil bisa juga tas kresek, kelompok pakaian sendiri, kelompok makanan sendiri, kelompok obat-obatan sendiri, kelompok perlengkapan masak sendiri dan seterusnya baru dimasukkan ke dalam carrier atau ransel. Hal ini akan memudahkan ketika nantinya kita memerlukan tinggal mengambil tas kecil tadi.
Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB, segala perlengkapan telah masuk tas, tapi Tuhan masih menyisakan air hujannya untuk pagi itu, gerimis malah turun. Nikmati saja, tidak perlu mengeluh apalagi memaki kalau cuacanya jelek. Siapa suruh nanjak di musim hujan?. Kamera akhirnya dikeluarkan, mulai pasang pose. Inilah Sahabat Lamperan The Explorer, sekarang ber-duabelas.
(II) Base Camp Sumbing, aku menujumu
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15 Wib Perjalanan sesungguhnya harus segera dimulai. Menunggu apalagi, selain semangat yang terus bergejolak. Sebelum perjalanan dimulai tak lupa berdoa dan berpose lagi di depan base camp atau rumah pak dukuh. Wajah sumringah penuh semangat untuk terus mengurai harapan menuju puncak gemilang cahaya nampak di setiap aura kami.
Keramahan penduduk sangat terasa, kami yang hanya membawa tas sebenarnya tak sebanding dengan para petani itu yang memanggul kayu, menggendong sekarung sayuran, dan setumpuk rumput berlawanan arah dengan kami. Mereka akan selalu menyapa ketika berpapasan, kalau tidak jauh-jauh jarak kita sudah menyapanya maka pastilah keduluan mereka yang menyapa dulu dengan senyum dan pertanyaan khasnya:
Tak jarang juga beberapa petani menyarankan agar tidak harus sampai puncak, buat saja tenda kalau sudah sampai pinusan (area pohon pinus) karena sepertinya hujan mau turun. Dan benar pos I belum juga nampak gemuruh angin dan suara hujan begitu keras, sepertinya sedang mengarah ke arah kami dari balik-balik bukit itu. Hujan sudah mulai turun, mantol hujan pun dipakai untuk sekedar melindungi dari hawa dingin yang merasuk. Perjalanan terus berlanjut.
Sekitar Pukul 14.15 Wib akhirnya kami tiba di Pos I. Medan dari kampung sampai pos I ini sudah berupa jalan batu yang dibangun oleh masyarakat, sehingga meskipun hujan, medan tidak begitu licin. Kondisi Pos I ini berupa jalan yang lumayan lebar serta datar, di kanan jalan memungkinkan untuk mendirikan beberapa tenda jika ingin istirahat. Kamipun beristirahat sambil menyantap persediaan logistik dan juga menunggu sahabat yang masih di belakang.
Jalur berikutnya terus berupa tanjakan terjal, dan kita melewati rute ini sudah malam dengan tetap gerimis dan gemuruh anginnya. Tenaga sudah mulai terkuras, salah satu sahabat kita yaitu Silmi kedinginan. Hal ini sedikit mengkhawatirkan bagi lainnya, karena memang dia baru pertama naik, dan itu Sumbing, gunung tertinggi ketiga di pulau Jawa. Pada jalur ini pilihannya serba susah, kalau mau mendirikan tenda tidak ada satupun tempat datar dan lagi tidak ada penghalang kayu, jadi jika sewaktu-waktu ada badai akan sangat berbahaya. Kalau ingin turun juga sudah jauh dari tempat yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda yaitu sebelum Pos III. Maka pilihan terbaiknya adalah naik ke pos V atau biasa disebut pos pohon tunggal. Setelah dikasih pengertian dan dihangatkan dengan baju dan selimut dari teman-teman yang lain akhirnya kita putuskan untuk tetap naik melanjutkan perjalanan.
Cuaca semakin mengkhawatirkan, hujan tak henti-hentinya turun yang mulai disertai badai. Namun semangat terus kita hunuskan ke langkah kaki. Disinilah jelas bahwa mendaki gunung bukan lagi persoalan fisik, tetapi persoalan mental. Kita harus yakin dan membulatkan tekad bahwa kita bisa meraihnya, maka kaki akan tetap terasa ringan untuk melangkah. Sebagai satu tim kami saling menyemangati, memotivasi dan terus menjada kewaspadaan satu sama lain terutama terkait kesehatan dan kekuatan masing-masing.
Perjalanan dari pos IV menuju pos V ini menjadi sangat lambat dan melelahkan. Hujan terus turun, badai datang sedikit menunjukkan aslinya, kabut menyelimuti, untung senter sudah kami siapkan untuk mengantisipasi berjalan di kegelapan. Hampir setiap 15 menit sekali kita istirahat, ada yang duduk, senderan ke tanah, bahkan mata mulai terpejam. Di rute ini kewaspadaan tinggi harus dijaga, salah sedikit melangkah ke kanan maka kaki akan mengambang, di sana jurang yang sangat dalam.
Perjuangan berlanjut, akhirnya sorot lampu senter di depan-jauh terlihat, pertanda ada kelompok pendaki yang sudah di atas. Kabut kembali turun dan membuat pandangan begitu terbatas. Semangat terus kita pacu dengan keyakinan, akhirnya sekitar pukul 21.00 Pos (V) Pohon Tunggal kita capai juga. Disini sudah ada tiga tenda yang berdiri, tampaknya mereka sudah bisa beristirahat.
Diskusipun dimulai untuk menghangatkan badan yang sudah mulai kedinginan, pakah kita mau mendirikan tenda atau melanjutkan perjalanan?. Keputusannya adalah kita dirikan tenda satu di pos ini, dan kita tinggal empat sahabat yaitu Yasin, Oyil, Silmi dan Rossi untuk tinggal di tenda ini, karena mereka sudah kelelahan. Selain itu juga tenda yang lainnya tidak mungkin didirikan karena sudah tidak ada tempat datar lagi yang mampu menampung tenda kami. Untungnya kelompok yang sudah berdiri tendanya itu berbaik hati mau membantu mendirikan tenda satu kami. Thanks bro, salam satu jiwa, salam satu bumi, Indonesia tanah airku. Kami berdelapanpun melanjutkan perjalanan.
Kabut, hujan dan badai terus berkobar jaya, sekali lagi bahwa mendaki gunung bukan hanya persolan fisik tetapi lebih pada persoalan mental, masih mampukah dan masih maukah kita melanjutkan harapan?
Perjalanan ini benar-benar tinggal sisa-sisa tenaga yang terkuras, namun semangat terus berpacu dengan waktu. Medan yang ditempuh tidak jauh beda dengan medan sebelumnya, terjal. Sebentar-sebentar kami istirahat, sikat lagi logistik, sambil sesekali memejamkan mata, namun semangat tak boleh terpejam. Hampir satu setengah jam perjalanan ini, kami juga belum menemukan tanda-tanda puncak berada. Kabut yang sangat tebal membatasi pemandangan kami, jarak hanya sekitar 10 meter.
Kini kami berenam, dalam kondisi yang sudah kelelahan kami senter kanan kiri, depan belakang tak juga menemukan tanah lapang. Dengan sisa tenaga yang ada kami putuskan yang penting tenda kami bisa dipasak dengan kuat dan tidak terhempas oleh badai, maka kami cari yang dengan pohon agar bisa menali tenda ke pohon itu, kurang lebih 15 menit tenda berdiri. Barang bawaan segera dikemasi kedalam tenda, kompor dinyalakan, panci digelar, air dituangkan, warung kopi sudah dibuka. Anggi dan Zacky kami mengkhawatirkanmu sahabat, kenapa tak kau sahut panggilan kami.
Mie instan campur segala rasa goreng dan kuah juga segala merk yang ada menjadi menu andalan chef Fery Ade Saputra, sementara Chef Sholeh Fasthea menyiapkan ayam gorang kecap yang rencana awalnya mau dibakar, tapi pakai apa, pastilah api tidak akan menyala di luar tenda kalau harus melawan badai dan hujan. Kalau kita bakar di dalam tenda bisa jadi tendanya malah yang terbakar.
Jarum jam berdetak, jam 00.00, 1 Januari 2014 tiba
Selamat tidur bersama hujan dan badai yang terus Berjaya, sedikit tendanya bocor tidak masalah, bagimana dengan Anggi dan Zacky yang atapnya langit.
Benar tak sampai 10 menit kami tiba di puncak Watu Lawang. Untuk melanjutkan perjalanan turun ke kawah sepertinya tidak mungkin, selain badai berkobar di area puncak, kasihan teman-teman yang di bawah menunggu terlalu lama nantinya, kami pun hanya berfoto-foto sebentar dan kembali menuju tenda untuk packing dan turun menuju Anggi dan Zacky serta tenda satu. Total naik dari tenda ke puncak sampai pulang ke tenda lagi tak lebih dari 30 menit, tentu ini jaraknya sangat dekat, namun karena semalam cuaca begitu gelap kami pun tidak dapat melihat puncak itu.
Barang bawaan dikemasi, tenda digulung, sampah-sampah dipungut, perjalanan pulang dimulai sekitar pukul 09.00 Wib. Langit agak cerah waktu itu, baru beberapa langkah turun tenda satu sudah terlihat, ternyata tidak begitu jauh, cukup 20 menitan kami capai, yang semalam kita tempuh lebih dari satu jam naiknya. Kami menanti perjumpaan denga Anggi dan Zacky di rumah ceruknya yang beratapkan langit, namun tak jua kami dapati. Khusnudzon kami, mereka berdua sudah berteduh di tenda satu, ternyata benar, mereka sudah disana, tenda yang sedianya untuk kapasitas empat orang harus berdesak-desakan diisi enam orang. Tambah hangat tentunya. Segera kami para koki berperang menggelar masakannya untuk mereka, menu sarapan ayam goreng madu dan roti tawar, serta makanan instan lainnya pun kami siapkan. Tak lupa susu jahe dan kopinya biar tambah hangat jiwanya, tambah romantis suasananya. Hemmm, awal tahun yang sempurna.
(II) Ending Story, bumbu penyedap cerita tumbuh segar di pertigaan makna
Eits…. Perjalanan pulang tidak begitu saja, masih ada segumpal cerita lain
Rute turun dari Pos Pohon Tunggal ini kita akan menjumpai kembali pertigaan, pertigaan inilah yang membuatkan cerita baru untuk kami. Semenjak dari Pos Pohon Tunggal, dua dari sahabat Lamperan The Explorer yaitu Irul dan Samhaji memimpin rombongan, atau lebih tepatnya jalan cepat duluan, katanya biar badannya hangat. Nah ternyata di pertigaan ini Irul dan Samhaji mengambil belok kiri, yaitu arah pulang menuju Base Camp Dusun Petung Desa Ngemplak Kec. Windusari. Pada saat kami bersepuluh lainnya sampai pertigaan itu barulah terlihat kalau irul dan Aji mengambil rute yang salah. Lumayan lama kami berdebat, bahwa itu adalah jalan yang salah, seharusnya kita lurus bukan justru belok kiri dan melalui jalan itu. Namun jiwa muda Irul dan Samhaji tetap saja ngeyel, dan mengatakan bahwa semalam kita lewat situ. Maklum, malam sebelumnya rute ini kita lalui sekitar pukul 20.00 Wib sehingga sudah sangat gelap. Bagaimana lagi, kalau kami yang bersepuluh juga lewat situ maka kami juga akan melalui jalur yang tidak seharusnya, maka akhirnya keluarlah kalimat terakhir “Ya sudah kita ketemu di sana”. Kalimat ini menutup perdebatan sengit penuh romantisme. Irul dan Samhaji tetap teguh pada pendiriannya mengambil jalan itu, dan kita yang bersepuluh tetap lurus penuh keyakinan.
Perpisahan itu hanya akan membuat kita untuk terus memikirkannya
Adzan bergema diantara kabut dan senja, Hp Sholeh Fasthea berdering, “mas kita sudah nyampai di dusun Sreal, Ngemplak”. Semua tim bersahut Alhamdulillah, keyakinan kita benar adanya, bahwa jalur itu akan mengantarkan Irul dan Samhaji menuju Desa Ngemplak Kec Windusari. Dusun Sreal dan Petung merupakan dusun-dusun dari Desa Negmplak. Tuhan memang sangat menyayangi kami.
Gunung Sumbing memang penuh pesona dan makna, perjalanan ini membuat kami belajar banyak hal, dari lebih banyak hal lain lagi yang belum kami ketahui.
Teruslah melangkah, karena dengan melangkah berarti bergerak, dan dengan bergerak maka berarti hidup.
We Are Sahabat Lamperan The Explorer
Keyboard kembali dipencet, huruf-huruf tertulis
Pos kali ini Lamperan The Explorer akan berbagi cerita perjalanan menuju Mt. Sumbing, salah satu gunung berapi di pulau Jawa, semoga menginspirasi ya...
30 Desember 2013
Bersekawan dalam harapan, mengurai hari pertama
Bersekawan dalam harapan, mengurai hari pertama
Tetesan air hujan terus membagi
berkahnya untuk menyuburkan kehidupan di muka bumi ini, ketika langkah hendak
dimulai. 30 Januari sudah menunjukkan senjanya, Yogyakarta mulai gelap.
Perjalanan kesekian kalinya akan segera dimulai, ya, untuk mengurai harapan
pada atap ketiga pula jawa Gunung Sumbing yang mempunyai ketinggian 3.371 MDPL.
Gunung Sumbing termasuk gunung berapi dengan tipe normal, atau diam. Gunung ini
terletak di tiga kabupaten yaitu sisi timur dan sebagian selatan merupakan
wilayah administrasi Kabupaten Magelang, Sisi Utara wilayah administrasi
Kabupaten temanggung, dan sisi Barat dan sebagian selatan wilayah administrasi
Kabupaten Wonosobo.
Sekitar pukul 19.30 Wib sahabat Lamperan The Explorer baru berkumpul, mereka bersebelas, setelah packing perlengkapan maka langsung meninggalkan Yogyakarta untuk segera meluncur menuju Magelang Jawa Tengah. Lebih tepatnya untuk menuju rumah dimana tim akan menginap semalam dulu untuk sekedar bersilaturahmi sekaligus menyiapkan diri.
Setelah tragedi ban pecah, hujan deras
sepanjang jalan Jogja-Magelang, dan wisata belanja malam di kaki lima sekitar
alun-alun kota Magelang, sekitar pukul 22.00 Wib mereka tiba di rumah tujuan menginap. Kopi panas sudah siap dihidangkan, lantai beralaskan tikar sudah
digelar, siapa mau lomba tidur? Kalau kurang hangat matras dan Sleeping Bag bisa
dicoba, anggap saja latihan di lereng Sumbing. Rumah tempat tim menginap ini
terletak di Dusun Kuadaan, Desa Girimulyo, Kecamatan Windusari, Kab. Magelang. Dengan ketinggian sekitar 1500
MDPL maka sudah lumayan dingin untuk latihan merasakan sejuknya hawa Sumbing.
Malam itu memang disengaja sudah sampai di Magelang agar cukup istirahatnya,
untuk mempersiapkan tenaga buat esok hari.
Setelah makan bersama, minum bersama, cerita bersama (kalau cerita sendiri namanya orang gila ya), maka agenda berikutnya adalah tidur bersama. Malam gelap, larut dengan kepingan asa yang menggumpal untuk perjalanan esok hari.
31 Desember 2013
(I) Pagi yang berkabut, dibalik
kabut itu puncak Sumbing begitu Indah
Hadap kanan Grak, dilihat dari luar rumah, pagi itu puncak Gunung Sumbing masih malu di balik kabutnya, namun kegagahannya mempesona. Suara langkah menapakinya sudah terdengar di gendang telinga. Mata terus memandang, kabut tersibak, puncak Sumbing mulai terlihat menunjukkan betapa indah bentuk Cinta-NYA. Dari Gunung Sumbing itu air mengalir, ladang-ladang subur, dan irama kehidupan umat manusia mengitarinya. Begitupun warga kampung mulai hilir mudik menuju ladangnya guna menambatkan harapan untuk hari depan bagi seluruh keluarganya. Sungguh tak terbantah anugerah-NYA.
Sarapan dimulai, manjakan dulu perutmu, nanti di puncak tidak ada warteg, warung padang, apalagi restoran seafood. Kopi disedu, niat dibulatkan. Segala perlengkapan dipacking serapi mungkin, sekedar tips packing, peralatan dikelompokkan sesuai jenisnya, masukkan kedalam tas kecil bisa juga tas kresek, kelompok pakaian sendiri, kelompok makanan sendiri, kelompok obat-obatan sendiri, kelompok perlengkapan masak sendiri dan seterusnya baru dimasukkan ke dalam carrier atau ransel. Hal ini akan memudahkan ketika nantinya kita memerlukan tinggal mengambil tas kecil tadi.
Waktu menunjukkan pukul 08.30 WIB, segala perlengkapan telah masuk tas, tapi Tuhan masih menyisakan air hujannya untuk pagi itu, gerimis malah turun. Nikmati saja, tidak perlu mengeluh apalagi memaki kalau cuacanya jelek. Siapa suruh nanjak di musim hujan?. Kamera akhirnya dikeluarkan, mulai pasang pose. Inilah Sahabat Lamperan The Explorer, sekarang ber-duabelas.
Foto bareng di dusun Kuadaan (Basecamp Menginap)
Dari Kanan: Fery Ade Saputra si
pelobi, Siri-siri Syarif Ahmad Zacky Al Jufri, Silmi Kaffah atau Silmi “kaffahnya” Oyil, Oyil Khoiril Mawahib,
Ki Juru Emong Sholeh Fasthea, Irul Khoirul Mustangin, Si Rahasia M. Nur Fadhli,
Aji Samhaji calon pengusaha fotocopy Brebes asli, Gembul Anggi Jatmiko, Rosi
bukan Valentino Rossi, M.Yasin yang katanya Star, Sadam Husein calon Presiden
Irak 2014 SM.
(II) Base Camp Sumbing, aku menujumu
09.30 Wib kabut mulai menipis, Tas
diangkat, motor diputar ban belakangnya. Perjalanan menuju Base Camp dimulai.
Pendakian Gunung Sumbing via jalur magelang sebenarnya dapat ditempuh melalui
tiga jalur yang nantinya akan berujung pada jalur yang sama. Untuk para pendaki
dari Arah Yogyakarta dan Jawa Timur jalur Pendakian Gunung Sumbing via Magelang
Sangat direkomendasikan karena jarak dari Yogyakarta lebih dekat, daripada
harus memutar ke Temanggung atau Wonosobo.
Jalur-jalur Pendakian Gunung
Sumbing via Magelang yaitu:
Jalur Dusun PETUNG, Desa Ngemplak, Kec. Windusari, Kab Magelang
Jalur Dusun PETUNG, Desa Ngemplak, Kec. Windusari, Kab Magelang
Ket: Di Dusun
ini belum ada base camp resmi, pendakian bisa ijin Kadus setempat sekaligus
menitipkan kendaraan, bila menggunakan kendaraan umum (angkot) hanya sampai
pasar kalegen, dari sini tersedia transportasi ojek ataupun sewa mobil
angkutan.
Kondisi: jalur
cukup terjal, cocok untuk penyuka tantangan
Rute: Yogyakarta
– Magelang (Kota Magelang ->Kec Bandongan ->Pasar Kalegen ->Dusun
Mangli)
Ket: Di Dusun ini
base camp resmi pendakian bisa ijin Kadus setempat sekaligus menitipkan
kendaraan, bila menggunakan kendaraan umum (angkot) hanya sampai pasar kalegen,
dari sini tersedia transportasi ojek ataupun sewa mobil angkutan.
Kondisi: jalur
lumayan terjal
Rute: Yogyakarta
– Magelang ( sebelum kota magelang belok kiri arah Borobudur ->Kec. Kajoran
-> Kec Kaliangkrik ->Desa Temanggung-Dusun Butuh)
Ket: Di Dusun
ini base camp resmi pendakian bisa ijin Kadus setempat sekaligus menitipkan
kendaraan, bila menggunakan kendaraan umum (angkot) hanya sampai pasar Kalingkrik,
dari sini tersedia transportasi ojek ataupun sewa mobil angkutan.
Kondisi: bisa
dikatakan jalur ini sepertiganya lumayan landai
Dari tempat kita menginap
sebenarnya untuk menuju jalur terdekat hanya tinggal melalui dua kampung ke
atas, tepatnya jalur Dusun Petung. Namun karena beberapa Sahabat Lamperan The Explorer adalah pemula maka kita memutar dan memilih jalur dusun Butuh. Sekitar 1,5 jam perjalanan
akhirnya pada pukul 11.00 Wib kami sampai di dusun tertinggi di gunung Sumbing
ini, setelah motor diparkir sekaligus mendaftar di rumah pak dukuh, tak lupa
shalat Dzuhur sekaligus jamak ashar kita tunaikan. Packing kembali, untuk
memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15 Wib Perjalanan sesungguhnya harus segera dimulai. Menunggu apalagi, selain semangat yang terus bergejolak. Sebelum perjalanan dimulai tak lupa berdoa dan berpose lagi di depan base camp atau rumah pak dukuh. Wajah sumringah penuh semangat untuk terus mengurai harapan menuju puncak gemilang cahaya nampak di setiap aura kami.
Bismillah……
Persiapan berangkat, rumah bapak dukuh dusun Butuh (Base camp)
(III) Perjalanan yang panjang,
semangat, manja, gelisah, dan kekuatan untuk terus melangkah
Sebagaimana pada umumnya jalur
pendakian gunung di wilayah tropis, jalur pendakian via dusun Butuh ini track dimulai dengan ladang-ladang
penduduk yang dipenuhi sayur-sayuran khas dataran tinggi. Jalur pertama ini
lumayan terjal, belum 15 menit berjalan nafas sudah mulai senin kamis,
ngos-ngosan. Benih-benih keringat mulai bermunculan berlomba membasahi badan,
dan mengeluarkan aroma khasnya. Entah ini persolan yang sudah mandi atau belum
mandi, atau memang begitulah caranya keringat menunjukkan dirinya? Belum lama
berjalan ternyata kita bertemu teman dari jogja juga yang punya hajat yang
sama, mereka berempat.
Keramahan penduduk sangat terasa, kami yang hanya membawa tas sebenarnya tak sebanding dengan para petani itu yang memanggul kayu, menggendong sekarung sayuran, dan setumpuk rumput berlawanan arah dengan kami. Mereka akan selalu menyapa ketika berpapasan, kalau tidak jauh-jauh jarak kita sudah menyapanya maka pastilah keduluan mereka yang menyapa dulu dengan senyum dan pertanyaan khasnya:
“Bade minggah mas (mau naik ke
puncak mas)”
“Enggih, kundur pak/bu (Iya,
pulang dari ladang pak/ bu)” jawaban sekenanya.
Tak jarang juga beberapa petani menyarankan agar tidak harus sampai puncak, buat saja tenda kalau sudah sampai pinusan (area pohon pinus) karena sepertinya hujan mau turun. Dan benar pos I belum juga nampak gemuruh angin dan suara hujan begitu keras, sepertinya sedang mengarah ke arah kami dari balik-balik bukit itu. Hujan sudah mulai turun, mantol hujan pun dipakai untuk sekedar melindungi dari hawa dingin yang merasuk. Perjalanan terus berlanjut.
Sekitar Pukul 14.15 Wib akhirnya kami tiba di Pos I. Medan dari kampung sampai pos I ini sudah berupa jalan batu yang dibangun oleh masyarakat, sehingga meskipun hujan, medan tidak begitu licin. Kondisi Pos I ini berupa jalan yang lumayan lebar serta datar, di kanan jalan memungkinkan untuk mendirikan beberapa tenda jika ingin istirahat. Kamipun beristirahat sambil menyantap persediaan logistik dan juga menunggu sahabat yang masih di belakang.
Logistik sudah dijamah, keringat
sudah mulai dingin, tenaga kembali terkumpul, perjalanan dilanjutkan. Dari pos
I menuju pos II medan berupa hutan pinus yang lebat dan lembab, kesegaran alami
begitu tercium aromanya. Medan masih berupa tanjakan-tanjakan terjal yang sudah
dibangun dengan batu, lumayan mengasyikkan sambil terus mengatur kembang
kempisnya nafas. Sekitar 1 jam perjalanan yang diperlukan untuk menempuh pos II
dari pos I. Logistik kembali digelar, kasihan cacing-cacing di perut sudah
geregetan.
Dari pos II menuju pos III medan
yang ditempuh sangat mengasyikkan. Jalur desa Butuh ini berada di sisi tenggara
Gunung Sumbing, sedangkan muara puncaknya berada di sebelah timur laut. Oleh
karena itu dari pos II ini medan yang dilalui cukup landai dengan membelah
bukit demi bukit, dengan sisi kanan berupa lereng dan jurang, dan setiap habis
satu bukit kita akan menemukan sungai-sungai khas pegunungan dengan airnya yang
sangat dingin dan menyegarkan. Air mineral yang kita bawa akan kalah nikmat
dengan air gunung ini. Melalui jalur ini tidak perlu takut kekurangan air
khususnya bila musim hujan, meskipun jika musim kemarau debit air dari mata
airnya akan berkurang. Setiap satu bukitnya hanya sekitar 7 sampai 10 menit
waktu yang diperlukan untuk menempuhnya, dan kita akan melewati kurang lebih 9
bukit kalau ga salah antara pos II dan Pos IV.
Rute selanjutnya dari pos III
menuju pos IV masih relatif masih datar dan mulai sedikit menanjak. Dengan pemandangan
yang tidak kalah menakjubkan. Kalau tidak salah antara pos III dan pos IV ini
kita akan bertemu pertigaan yang merupakan titik temu dari jalur Dusun Mangli.
Jangan sampai keliru belok kanan, jalur puncak harus tetap lurus. Jenis
pepohonan sudah mulai didominasi dengan tipe pohon yang agak rendah dan
rerumputan, berbeda dengan jalur sebelumnya, dan area sabana sudah mulai
terlihat.
Jalur setelah pos IV sudah mulai
menanjak kembali, dengan lereng dan jurang dalam di sebelah kanan. Hati-hati
dan selalu waspada. Sampai pos IV ini hari sudah mulai gelap, adzan magrib sayu
terdengar di kejauhan. Perjalanan terus berlanjut dengan sesekali berhenti
untuk mengatur langkah dan juga menyantap logistik kembali. Pada kurang lebih
pertengahan jalur pos IV ini, dimana vegetasi sudah berupa sabana kita akan
mendapati pertigaan lagi yaitu titik temu jalur Dusun Petung Magelang, tentu
saja kita berjalan lurus (naik) karena kalau
belok kanan berarti kembali turun. Titik temu jalur ini sudah berada di
lereng timur bahkan bahkan mendekati timur laut gunung Sumbing.
Jalur berikutnya terus berupa tanjakan terjal, dan kita melewati rute ini sudah malam dengan tetap gerimis dan gemuruh anginnya. Tenaga sudah mulai terkuras, salah satu sahabat kita yaitu Silmi kedinginan. Hal ini sedikit mengkhawatirkan bagi lainnya, karena memang dia baru pertama naik, dan itu Sumbing, gunung tertinggi ketiga di pulau Jawa. Pada jalur ini pilihannya serba susah, kalau mau mendirikan tenda tidak ada satupun tempat datar dan lagi tidak ada penghalang kayu, jadi jika sewaktu-waktu ada badai akan sangat berbahaya. Kalau ingin turun juga sudah jauh dari tempat yang cukup nyaman untuk mendirikan tenda yaitu sebelum Pos III. Maka pilihan terbaiknya adalah naik ke pos V atau biasa disebut pos pohon tunggal. Setelah dikasih pengertian dan dihangatkan dengan baju dan selimut dari teman-teman yang lain akhirnya kita putuskan untuk tetap naik melanjutkan perjalanan.
Cuaca semakin mengkhawatirkan, hujan tak henti-hentinya turun yang mulai disertai badai. Namun semangat terus kita hunuskan ke langkah kaki. Disinilah jelas bahwa mendaki gunung bukan lagi persoalan fisik, tetapi persoalan mental. Kita harus yakin dan membulatkan tekad bahwa kita bisa meraihnya, maka kaki akan tetap terasa ringan untuk melangkah. Sebagai satu tim kami saling menyemangati, memotivasi dan terus menjada kewaspadaan satu sama lain terutama terkait kesehatan dan kekuatan masing-masing.
Perjalanan dari pos IV menuju pos V ini menjadi sangat lambat dan melelahkan. Hujan terus turun, badai datang sedikit menunjukkan aslinya, kabut menyelimuti, untung senter sudah kami siapkan untuk mengantisipasi berjalan di kegelapan. Hampir setiap 15 menit sekali kita istirahat, ada yang duduk, senderan ke tanah, bahkan mata mulai terpejam. Di rute ini kewaspadaan tinggi harus dijaga, salah sedikit melangkah ke kanan maka kaki akan mengambang, di sana jurang yang sangat dalam.
Pada suatu kesempatan kita duduk
istirahat, gerimis mulai reda, tetapi badai terus bergemuruh, mata semua
sahabat mendingak ke atas, melihat langit. Ya, langit. Langit yang gelap dengan
selimut awan hitamnya dengan sebaliknya sepertinya rembulan yang sedang
mengintip, menjadi suasana temaram, indah sekali melihat kegelapan yang
sepertinya menyemangati kita. Disinilah kalimat Tuhan Sayangilah kami dengan
Kekuatan-Mu begitu dalam kami ucapkan.
Perjuangan berlanjut, akhirnya sorot lampu senter di depan-jauh terlihat, pertanda ada kelompok pendaki yang sudah di atas. Kabut kembali turun dan membuat pandangan begitu terbatas. Semangat terus kita pacu dengan keyakinan, akhirnya sekitar pukul 21.00 Pos (V) Pohon Tunggal kita capai juga. Disini sudah ada tiga tenda yang berdiri, tampaknya mereka sudah bisa beristirahat.
Diskusipun dimulai untuk menghangatkan badan yang sudah mulai kedinginan, pakah kita mau mendirikan tenda atau melanjutkan perjalanan?. Keputusannya adalah kita dirikan tenda satu di pos ini, dan kita tinggal empat sahabat yaitu Yasin, Oyil, Silmi dan Rossi untuk tinggal di tenda ini, karena mereka sudah kelelahan. Selain itu juga tenda yang lainnya tidak mungkin didirikan karena sudah tidak ada tempat datar lagi yang mampu menampung tenda kami. Untungnya kelompok yang sudah berdiri tendanya itu berbaik hati mau membantu mendirikan tenda satu kami. Thanks bro, salam satu jiwa, salam satu bumi, Indonesia tanah airku. Kami berdelapanpun melanjutkan perjalanan.
Kabut, hujan dan badai terus berkobar jaya, sekali lagi bahwa mendaki gunung bukan hanya persolan fisik tetapi lebih pada persoalan mental, masih mampukah dan masih maukah kita melanjutkan harapan?
Perjalanan ini benar-benar tinggal sisa-sisa tenaga yang terkuras, namun semangat terus berpacu dengan waktu. Medan yang ditempuh tidak jauh beda dengan medan sebelumnya, terjal. Sebentar-sebentar kami istirahat, sikat lagi logistik, sambil sesekali memejamkan mata, namun semangat tak boleh terpejam. Hampir satu setengah jam perjalanan ini, kami juga belum menemukan tanda-tanda puncak berada. Kabut yang sangat tebal membatasi pemandangan kami, jarak hanya sekitar 10 meter.
Kaki sudah lunglai, pundak sudah
memerah karena ransel, perut tak sabar menyantap seduhan kopi panas. Kami
putuskan untuk segera mendirikan tenda. Namun sayang dua dari teman kami belum
juga muncul. Kami panggil-panggil mereka, Zacky, Anggi tak ada sahutan.
Ternyata menurut pendaki yang beberapa saat kemudian muncul di belakang kami
bahwa dua orang teman kita itu mau tidur dicerukan jalur yang lumayan aman dari
badai, namun demikian pastilah hujan tetap mengenainya. Meski kekhawatiran itu
ada tapi setidaknya itu sedikit melegakan. Kami terus berusaha memanggilnya,
namun tidak ada respon juga, doa kami panjatkan semoga mereka berdua dilindungi
oleh pembuat Gunung Sumbing ini. Aamiin.
Kini kami berenam, dalam kondisi yang sudah kelelahan kami senter kanan kiri, depan belakang tak juga menemukan tanah lapang. Dengan sisa tenaga yang ada kami putuskan yang penting tenda kami bisa dipasak dengan kuat dan tidak terhempas oleh badai, maka kami cari yang dengan pohon agar bisa menali tenda ke pohon itu, kurang lebih 15 menit tenda berdiri. Barang bawaan segera dikemasi kedalam tenda, kompor dinyalakan, panci digelar, air dituangkan, warung kopi sudah dibuka. Anggi dan Zacky kami mengkhawatirkanmu sahabat, kenapa tak kau sahut panggilan kami.
Mie instan campur segala rasa goreng dan kuah juga segala merk yang ada menjadi menu andalan chef Fery Ade Saputra, sementara Chef Sholeh Fasthea menyiapkan ayam gorang kecap yang rencana awalnya mau dibakar, tapi pakai apa, pastilah api tidak akan menyala di luar tenda kalau harus melawan badai dan hujan. Kalau kita bakar di dalam tenda bisa jadi tendanya malah yang terbakar.
Jarum jam berdetak, jam 00.00, 1 Januari 2014 tiba
Tahun baru telah tiba. Dikejauhan
sana terlihat gemerlapan kembang api, meski hujan masih dalam gerimisnya,
beberapa bagian langit ada yang lumayan terang, mungkin saja itu daerah jogja.
Sehingga masih terlihat pesta kembang api itu, inilah serunya di gunung, bisa
melihat dunia dari berbagai arah. Tuhan, aku berterima kasih atas kenikmatan
yang Kau sajikan ini.
Malam Hening, mata mulai menciut.
Matras sepertinya empuk, dan sleeping bag harus diisi biar mengembung.
Selamat tidur bersama hujan dan badai yang terus Berjaya, sedikit tendanya bocor tidak masalah, bagimana dengan Anggi dan Zacky yang atapnya langit.
Kita lanjutkan ceritanya esok hari.
1 Januari 2014
(I) Langit pagi, harapan baru,
syukur dalam hening, penuh cerita bermakna
Setiap pendaki ingin menikmati
sensasi melihat sun rise di esok hari dari puncak gunung. Sahabat, Sun Rise itu
pastilah ada setiap harinya, persoalannya satu, dia tertutup awan apa tidak?
Itu saja. Hari pertama tahun 2014 itu ternyata sun rise-nya tertutup awan, ya
sudah kita nikmati awan dan hujannya saja sekalian. Kompor kembali digelar, air
dituang ke dalam panci, yuk minum kopi kembali, sarapan juga perlu.
Logistik dimanfaatkan, pagi itu dingin menusuk-nusuk seperti tulang ayam |
Tekad Fadhli dan Fery untuk mencapai
puncak tidak luntur, terlebih setelah mendapat informasi dari Juru Emong Sholeh
Fasthea bahwa puncak sebentar lagi. Pagi itu mereka tetap ingin sampai puncak,
kami bertiga pun bersiap diri untuk menuju puncak gemilang cahaya. Menunggu
hujan agak reda, mantol hujan dikenakan, langkahpun mengalir. Ternyata setelah
kita keluar tenda puncak sudah kelihatan, paling lama 10 menit kita dapat
mencapainya. Irul pun tertarik, dan mengikuti kami. Tinggallah Sadam dan
Samhaji di tenda. Puncak yang akan kita tempuh ini puncak Watu Lawang. Sebelum
mencapai puncak Watu Lawang kita akan mendapatkan pertigaan kekanan (turun) ini
disebut Watu Tunggangan yaitu jalur menuju kawah Sumbing atau untuk menuju
puncak Buntu yang berada di bagian barat gunung. Sedangkan jika lurus maka kita
akan mendapatkan puncak Watu Lawang yang merupakan puncak di bagian Timur. Pada
Puncak Watu Lawang ini terdapat seperti pintu yang alami terbuat dari batu, dan
ini juga merupakan jalur menuju kawah selain jalur Watu Tunggangan tadi yang
merupakan jalur landai. Watu Lawang jalurnya berupa turunan yang sangat curam
bahkan kemiringannya 85 derajat dengan kontur bebatuan yang bisa dijadikan
pegangan, jadi harus benar-benar hati-hati.
Benar tak sampai 10 menit kami tiba di puncak Watu Lawang. Untuk melanjutkan perjalanan turun ke kawah sepertinya tidak mungkin, selain badai berkobar di area puncak, kasihan teman-teman yang di bawah menunggu terlalu lama nantinya, kami pun hanya berfoto-foto sebentar dan kembali menuju tenda untuk packing dan turun menuju Anggi dan Zacky serta tenda satu. Total naik dari tenda ke puncak sampai pulang ke tenda lagi tak lebih dari 30 menit, tentu ini jaraknya sangat dekat, namun karena semalam cuaca begitu gelap kami pun tidak dapat melihat puncak itu.
Barang bawaan dikemasi, tenda digulung, sampah-sampah dipungut, perjalanan pulang dimulai sekitar pukul 09.00 Wib. Langit agak cerah waktu itu, baru beberapa langkah turun tenda satu sudah terlihat, ternyata tidak begitu jauh, cukup 20 menitan kami capai, yang semalam kita tempuh lebih dari satu jam naiknya. Kami menanti perjumpaan denga Anggi dan Zacky di rumah ceruknya yang beratapkan langit, namun tak jua kami dapati. Khusnudzon kami, mereka berdua sudah berteduh di tenda satu, ternyata benar, mereka sudah disana, tenda yang sedianya untuk kapasitas empat orang harus berdesak-desakan diisi enam orang. Tambah hangat tentunya. Segera kami para koki berperang menggelar masakannya untuk mereka, menu sarapan ayam goreng madu dan roti tawar, serta makanan instan lainnya pun kami siapkan. Tak lupa susu jahe dan kopinya biar tambah hangat jiwanya, tambah romantis suasananya. Hemmm, awal tahun yang sempurna.
Pukul 11.00 Wib, semua tim tenda
satu sudah sarapan dan packing barang, kita lanjutkan untuk packing tendanya. Bismillah….
Perjalanan pulang dimulai.
Perjalanan pulang selalu lebih
mudah, lebih cepat dan lebih bersemangat.
Pukul 16.00 Wib, kami sudah berada
kembali di rumah pak Dukuh Dusun Butuh. Langsung mengantre kamar mandi, ada
yang mandi ada juga yang sekedar cuci muka, dan juga berwudhu untuk
melaksanakan Shalat.
Pukul 17.30 Semua sudah rapi,
kembali menuju rumah Sholeh Fasthea untuk istirahat dan menyiapkan energi untuk
besok paginya lagi pulang menuju Yogyakarta. Jogja I Miss U…
(II) Ending Story, bumbu penyedap cerita tumbuh segar di pertigaan makna
Eits…. Perjalanan pulang tidak begitu saja, masih ada segumpal cerita lain
Masih di Pos Pohon Tunggal, Tenda
satu dipacking, gerimis masih saja turun berserta hembusan anginnya. Perjalanan
dari pos Pohon Tunggal harus melewati turunan terjal dan licin, kaki harus bisa
berkompromi untuk menahan berat badan agar tidak terpelanting. Gubrakkk, satu
persatu dintara kami bergantian merasakan nikmatnya terpeleset, setelah
berusaha keras menumpukan kaki di tanah akhirnya pertahanan runtuh, memang
licin tanah itu. Terpeleset adalah satu sensasi dari nikmatnya perjalanan
bukan?. Nikmati saja kalau begitu.
Rute turun dari Pos Pohon Tunggal ini kita akan menjumpai kembali pertigaan, pertigaan inilah yang membuatkan cerita baru untuk kami. Semenjak dari Pos Pohon Tunggal, dua dari sahabat Lamperan The Explorer yaitu Irul dan Samhaji memimpin rombongan, atau lebih tepatnya jalan cepat duluan, katanya biar badannya hangat. Nah ternyata di pertigaan ini Irul dan Samhaji mengambil belok kiri, yaitu arah pulang menuju Base Camp Dusun Petung Desa Ngemplak Kec. Windusari. Pada saat kami bersepuluh lainnya sampai pertigaan itu barulah terlihat kalau irul dan Aji mengambil rute yang salah. Lumayan lama kami berdebat, bahwa itu adalah jalan yang salah, seharusnya kita lurus bukan justru belok kiri dan melalui jalan itu. Namun jiwa muda Irul dan Samhaji tetap saja ngeyel, dan mengatakan bahwa semalam kita lewat situ. Maklum, malam sebelumnya rute ini kita lalui sekitar pukul 20.00 Wib sehingga sudah sangat gelap. Bagaimana lagi, kalau kami yang bersepuluh juga lewat situ maka kami juga akan melalui jalur yang tidak seharusnya, maka akhirnya keluarlah kalimat terakhir “Ya sudah kita ketemu di sana”. Kalimat ini menutup perdebatan sengit penuh romantisme. Irul dan Samhaji tetap teguh pada pendiriannya mengambil jalan itu, dan kita yang bersepuluh tetap lurus penuh keyakinan.
Perpisahan itu hanya akan membuat kita untuk terus memikirkannya
Jalan terus kita susuri,
sungai-sungai kita belah, disanalah kita menemukan jejak dan menemukan
kepastian bahwa jalan yang kita tempuh benar, pastilah Irul dan Aji mengambil
jalan yang keliru kalau begitu. Meski demikian kita punya keyakinan bahwa itu
adalah jalur dusun Petung Desa Ngemplak, dan dilihat dari jejak-jejak yang
tertinggal pastilah jalur itu juga ramai yang melewati, dan keyakinan bahwa
Irul dan Samhaji akan sampai kampung tetaplah tinggi. Sms kita kirim, fungsi
panggilan Hp kita gunakan, dan juga doa kita panjatkan semoga Irul dan Samhaji
menemukan jalan yang benar. Sekitar pukul 16.00 kami sudah sampai di rumah
Bapak Dukuh dusun Butuh, kami tunggu hampir satu setengah jam tidak ada kabar
apalagi penampakannya. Sahabat-sahabat lainnya bergerak, memutuskan untuk
kembali kerumah Ki Juru Emong Sholeh Fasthea, namun menyisakan Fery si Pelobi
seorang diri di Base Camp, untuk tetap menunggu di base camp.
Adzan bergema diantara kabut dan senja, Hp Sholeh Fasthea berdering, “mas kita sudah nyampai di dusun Sreal, Ngemplak”. Semua tim bersahut Alhamdulillah, keyakinan kita benar adanya, bahwa jalur itu akan mengantarkan Irul dan Samhaji menuju Desa Ngemplak Kec Windusari. Dusun Sreal dan Petung merupakan dusun-dusun dari Desa Negmplak. Tuhan memang sangat menyayangi kami.
Semangkok bakso pedas terasa maknyus
di lidah, semoga sahabat kami berdua mendapatkan tempat untuk menginap di dusun
itu. Benar, orang Indonesia memang ramah. Irul dan Samhaji dipersilakan
menginap di dusun itu, dan esok paginya kita jemput, begitupun juga Fery yang
bermalam di base camp awal kita jemput siangnya.
Gunung Sumbing memang penuh pesona dan makna, perjalanan ini membuat kami belajar banyak hal, dari lebih banyak hal lain lagi yang belum kami ketahui.
Teruslah melangkah, karena dengan melangkah berarti bergerak, dan dengan bergerak maka berarti hidup.
Gunung Sumbing, semoga ada
kesempatan untuk menjumpaimu lagi…
Beberapa View lain Sahabat Lamperan The Explorer
We Are Sahabat Lamperan The Explorer
Sholeh Fasthea, Khoiril Mawahib,
Fery Ade Saputra, A. Sadam Husein, M. Yasin, Anggi Jatmiko, A. Zacky Al Jufri,
M. Nur Fadhli, Samhaji, Khoirul Mustangin, Silmi Kaffah, Rossi.
DITUNGGU YANG GUNUNG ANDONG YA MIN........
BalasHapusSiap Mon, sudah dalam proses, nanti perjalanan kita yang lain juga akan ditulis, ditunggu yach..
BalasHapustak tambahi sitik min :
BalasHapusdan Yasin Stars memilih menyerah dan berhenti mendaki untuk mencapai puncak sumbing dan memilih mendirikan tenda di pos pohon tunggal dengan kelompok lain yang saat itu tendanya sudah berdiri kokoh. dengan tangan dan kaki yang sudah gemetar dan stamina yang menurun drastis karena kedinginan, yasin pun cari patok tendanya tidak ketemu-ketemu, padahal semua peralatan lengkap ada di dalamnya, termasuk patok tenda..eh ternyata eh ternyata memang patoknya sudah ada didalamnya, tapi karena otak yang sudah membeku dan pikiran yang kacau mengkaburkan kesadarannya. tetapi tidak dipungkiri memang saat itu semua pendaki hampir merasakan hipotermia dan kelelahan yang sangat. itulah sebuah perjuangan seorang pendaki di tengah-tengah kedahsyatan badai yang terus menerjang tiada henti, bagaimanapun keadaannya harus tetap mementingkan kebersamaan, kekompakan, dan keselamatan bersama. Namun setidaknya itu menjadi pelajaran berharga bagi Yasin dalam pendakian pertamanya menghadapi badai dan dinginnya angin gunung yang menusuk-nusuk tulangnya. hingga akhirnya turun dan sampai pada titik awal pemberangkatan, meskipun dengan kaki kesleyo dan kejang-kejang, semua terbayar lunas saat dukun pijet ditempetnya mas Sholeh Fasthea memberikan sentuhan pada tubuh,kaki, dan tangan yasin, mas oyil, fadhli, .(terus sopo meneh yo seng pijet aku lali, seng penting bar pijet ojo lali do bayar.hahaha)
itu saja. sekian dan terimakasih :D :D
Mantap....
HapusSiangnya lagi, tgl 02 Januari 2014, si Tukang Pijet kembali diundang, Spesial untuk Irul dan Samhaji yang telah berkelanan dengan keyakinannya, kata si tukang pijet: "Panen maning iki son"
Hapusmantap luar biasa isinya; berbobot pula (^_^) Makasih banget atas info jalur2 pendakian gunung Sumbingnya, mas... bisa deh dicoba lain waktu semua jalur itu.
BalasHapusmonggo. Untuk sekedar info awal tahun 2015 kamrin jalur kaliangkrik telah dibenahi oleh warga sekitar, dan juga sudah dibuat petunjuk-petunjuknya
Hapus