Menapaki Debu Lahar Puncak Merapi
Yogyakarta, 23-24 Agustus 2014
Menapaki jalur setapak pada salah satu gunung api teraktif di dunia ini memang memberi kejutan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Jalur pendakian ke gunung Merapi ini bisa dibilang ekstrim karena medannya yang curam dan didominasi oleh bebatuan.
Tahun 2014 ini Sahabat Lamperan The Explorer kembali menjejakkan kaki di gunung Merapi, sebenarnya ini merupakan perjalanan yang kedua karena pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2013 kita juga pernah menikmati keindahan Merapi ini. Jalur yang dapat ditempuh untuk menuju puncak merapi dapat ditempuh dari tiga jalur yaitu jalur cangkringan (kali adem) Yogyakarta, jalur Babadan Magelang dan jalur Selo Boyolali. Namun kedua jalur pertama yaitu Kali Adem dan Babadan belum dibuka kembali setelah terkena erupsi pada tahun 2010 yang lalu, sehingga untuk saat ini jalur yang direkomendasikan hanyalah jalur Selo Boyolali.
Bagi para pendaki yang ingin merasakan dahsyatnya tanjakan-tanjakan merapi melalui jalur Selo ini dapat ditempuh dengan rute sebagai berikut:
Dari arah Yogyakarta, pendaki bisa mengambil rute arah semarang via magelang. Di Muntilan atau Blabak ganti angkutan menuju Selo Boyolali. Bilang saja pada kernetnya mau ke merapi, maka akan diturunkan di pertigaan menuju Base camp Selo. Dari pertigaan ini Base camp Selo sudah terlihat dengan adanya tulisan New Selo di lereng Merapi mirip dengan tulisan Holywood di negeri paman sam. Perjalanan selanjutnya bisa jalan kaki, ngojek atau menyewa mobil bak terbuka pengangkut sayur.
Dari arah Semarang, pendaki bisa mengambil arah Yogyakarta via Solo. Turun di Boyolali dan ganti angkutan menuju Selo (Magelang). Bilang saja pada kernetnya mau ke merapi, maka akan diturunkan pada pertigaan menuju base camp Selo. Dari pertigaan ini base camp Selo sudah terlihat dengan adanya tulisan New Selo di lereng Merapi mirip dengan tulisan Hollywood di negeri paman sam. Perjalanan selanjutnya bisa jalan kaki, ngojek atau nyewa mobil bak terbuka pengangkut sayur.
Eksplorasi kali ini Sahabat Lamperan The Explorer masih menggunakan kuda besi sendiri sebagai transportasi andalan, dengan motor maka pemandangan di sepanjang perjalanan begitu luas dinikmati. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi bisa diparkirkan di basecamp untuk sekaligus mendaftarkan diri pada petugas jaga. Basecamp Merapi (Barameru) terletak di perkampungan penduduk. Dari basecamp ini perjalanan dilanjutkan dengan menapaki jalur yang berupa tanjakan aspal menuju joglo II yaitu sebuah titik terakhir dari desa. Di kawasan Joglo ini terdapat beberapa warung makan yang menyediakan berbagai menu makanan dan minuman. Pendaki bisa menambah logistik disini dan sekaligus untuk repacking perlengkapan pendakian. Selain itu juga terdapat dua buah bangunan Joglo yang bisa digunakan untuk beristirahat sebentar.
Setelah semangkuk mie instan rebus pakai telor masuk mengisi perut, setelah tiga rakaat sekaligus jama’ empat rokaat ditunaikan, perjalanan dimulai. Titik pendakian dimulai dari joglo II ini, medan pertama berupa ladang tembakau penduduk setempat. Medan ini berupa paving blok semen yang nampaknya baru saja dibangun. Perjalanan terus menanjak melewati barisan pohon tembakau yang subur dan menghijau, meski hari sudah gelap namun kesuburan tembakau ini tetap nampak dalam sorot lampu senter. Kurang lebih 10 menit perjalanan medan yang berupa paving sudah habis dan berganti menjadi jalur tanah berdebu. Perjalanan terus menanjak dan beberapa saat selanjutnya telah memasuki kawasan vegetasi hutan yang berupa pepohonan.
Menapaki jalur setapak pada salah satu gunung api teraktif di dunia ini memang memberi kejutan yang luar biasa. Bagaimana tidak? Jalur pendakian ke gunung Merapi ini bisa dibilang ekstrim karena medannya yang curam dan didominasi oleh bebatuan.
Tahun 2014 ini Sahabat Lamperan The Explorer kembali menjejakkan kaki di gunung Merapi, sebenarnya ini merupakan perjalanan yang kedua karena pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2013 kita juga pernah menikmati keindahan Merapi ini. Jalur yang dapat ditempuh untuk menuju puncak merapi dapat ditempuh dari tiga jalur yaitu jalur cangkringan (kali adem) Yogyakarta, jalur Babadan Magelang dan jalur Selo Boyolali. Namun kedua jalur pertama yaitu Kali Adem dan Babadan belum dibuka kembali setelah terkena erupsi pada tahun 2010 yang lalu, sehingga untuk saat ini jalur yang direkomendasikan hanyalah jalur Selo Boyolali.
Bagi para pendaki yang ingin merasakan dahsyatnya tanjakan-tanjakan merapi melalui jalur Selo ini dapat ditempuh dengan rute sebagai berikut:
Dari arah Yogyakarta, pendaki bisa mengambil rute arah semarang via magelang. Di Muntilan atau Blabak ganti angkutan menuju Selo Boyolali. Bilang saja pada kernetnya mau ke merapi, maka akan diturunkan di pertigaan menuju Base camp Selo. Dari pertigaan ini Base camp Selo sudah terlihat dengan adanya tulisan New Selo di lereng Merapi mirip dengan tulisan Holywood di negeri paman sam. Perjalanan selanjutnya bisa jalan kaki, ngojek atau menyewa mobil bak terbuka pengangkut sayur.
Dari arah Semarang, pendaki bisa mengambil arah Yogyakarta via Solo. Turun di Boyolali dan ganti angkutan menuju Selo (Magelang). Bilang saja pada kernetnya mau ke merapi, maka akan diturunkan pada pertigaan menuju base camp Selo. Dari pertigaan ini base camp Selo sudah terlihat dengan adanya tulisan New Selo di lereng Merapi mirip dengan tulisan Hollywood di negeri paman sam. Perjalanan selanjutnya bisa jalan kaki, ngojek atau nyewa mobil bak terbuka pengangkut sayur.
Eksplorasi kali ini Sahabat Lamperan The Explorer masih menggunakan kuda besi sendiri sebagai transportasi andalan, dengan motor maka pemandangan di sepanjang perjalanan begitu luas dinikmati. Bagi yang menggunakan kendaraan pribadi bisa diparkirkan di basecamp untuk sekaligus mendaftarkan diri pada petugas jaga. Basecamp Merapi (Barameru) terletak di perkampungan penduduk. Dari basecamp ini perjalanan dilanjutkan dengan menapaki jalur yang berupa tanjakan aspal menuju joglo II yaitu sebuah titik terakhir dari desa. Di kawasan Joglo ini terdapat beberapa warung makan yang menyediakan berbagai menu makanan dan minuman. Pendaki bisa menambah logistik disini dan sekaligus untuk repacking perlengkapan pendakian. Selain itu juga terdapat dua buah bangunan Joglo yang bisa digunakan untuk beristirahat sebentar.
Setelah semangkuk mie instan rebus pakai telor masuk mengisi perut, setelah tiga rakaat sekaligus jama’ empat rokaat ditunaikan, perjalanan dimulai. Titik pendakian dimulai dari joglo II ini, medan pertama berupa ladang tembakau penduduk setempat. Medan ini berupa paving blok semen yang nampaknya baru saja dibangun. Perjalanan terus menanjak melewati barisan pohon tembakau yang subur dan menghijau, meski hari sudah gelap namun kesuburan tembakau ini tetap nampak dalam sorot lampu senter. Kurang lebih 10 menit perjalanan medan yang berupa paving sudah habis dan berganti menjadi jalur tanah berdebu. Perjalanan terus menanjak dan beberapa saat selanjutnya telah memasuki kawasan vegetasi hutan yang berupa pepohonan.
Medan dari Pasar Bubrah menuju puncak ditemani semburat sunrise
Jalur awal merapi via Selo ini lebih banyak berupa tanah berdebu yang pada musim kemarau debu itu akan beterbangan dan bila musim hujan berubah menjadi becek dan licin. Nafas mulai berpacu dengan aroma dingin malam yang mulai menusuk. Satu jam kurang lebih dari start pendakian kami tiba di Shelter 1 atau semacam gapura penanda ucapan selamat datang di Taman Nasional Gunung Merapi. Di sampingnya juga berdiri Bangunan Joglo dengan tiang-tiang besi yang bisa digunakan untuk beristirahat.
Puncak Merapi |
Sarapan pagi dengan menu sandwich |
Dari Shelter 1 ini perjalanan terus menanjak dan medan masih berupa tanah berdebu, rutenya yang terus menanjak cukup menguras tenaga. Sahabat Lamperan The Explorer beberapa kali mengambil istirahat sejenak untuk sekedar menghela nafas atau juga menambah asupan gizi tubuh. Sekitar satu jam kemudian kita mendapatkan persimpangan atau pertigaan, kedua jalur ini sebenarnya akan bertemu dititik yang sama. Namun plang yang ada di situ kurang jelas karena hanya ada satu plang bertuliskan Puncak yang mengarah pada jalan yang lurus dan menanjak. Sebenarnya Jalur yang lurus (alternatif) adalah menuju pos 1 dengan medan yang menanjak, sedangkan jalur yang ke kiri (kartini) adalah menuju titik setelah pos 1 dengan jalur yang lumayan landai karena mengitari bukit. Kami memutuskan untuk mengambil jalur lurus dengan resiko jalur curam dan menanjak, karena tahun sebelumnya kami pernah melewati jalur yang ke kiri, biar komplit pengalamannya. Kurang lebih setengah jam maka kita mendapati pos 1. Pos 1 ini ditandai dengan adanya batu yang lumayan besar dan tak seberapa tanah datar.
Dari pos 1 perjalanan dilanjutkan dengan menuruni batu kurang lebih 2 meter dan kita akan mendapatkan pertigaan pertemuan dari percabangan sebelumnya, jalur ke kiri adalah jalur turun kembali dan jalur lurus adalah jalur menuju puncak. Di area ini juga telah dibangun sebuah Joglo yang bisa digunakan untuk istirahat. Namun sayang, bangunan yang sepertinya belum lama ini sudah kotor dengan tangan-tangan jahat vandalisme. Perjalanan dilanjutkan dengan mengambil jalan lurus yang lumayan landai, namun tidak begitu lama kita telah disambut lagi dengan tanjakan-tanjakan yang terus menguras keringat. Nampaknya baju dan jaket mulai basah oleh keringat yang membanjiri tubuh. Kurang lebih setengah jam berikutnya medan sudah mulai berubah dengan batu-batu besar dan kerikil. Sangat diperlukan kehatian-hatian pada jalur ini terutama dalam melangkah menapakkan kaki pada batu yang tepat agar tidak terpeleset.
Rute semakin menanjak dan semakin ekstrim dengan terus berupa batu-batu hasil luapan cinta dan juga mungkin emosi merapi dari erupsi-erupsi sebelumnya. Pada jalur ini kita juga mendapatkan percabangan ke kanan atau jalur evakuasi, untuk menuju puncak perjalanan terus saja melanjutkan jalan lurus, menanjak dan tentunya istimewa sensasinya. Kalau di bawah kaki penuh dengan batu dan kerikil yang bertebaran di mana-mana, di atas kepala bertebaran pula bintang-bintang menghiasi langit malam, indah nian ciptaan-Nya.
Perkiraan satu setengah jam perjalanan dari Pos 1 kita mendapati Pos II, Pos II ini berupa tugu kurang lebih satu setengah meter. Medan setelah pos II banyak berupa batu-batu besar bahkan ada yang disebut watu gajah (batu gajah) karena bentuknya yang menyerupai badan gajah. Medannya lumayan landai sangat berbeda dengan medan sebelum pos II, bahkan di beberapa tempat terdapat tanah-tanah lapang yang cocok untuk mendirikan tenda. Kami pun melewati beberapa tenda yang sudah dibangun di sana, namun karena kondisi fisik masih kuat kami tetap melanjutkan perjalanan karena tenda akan didirikan di pos Pasar Bubrah.
Medan selanjutnya setelah beberapa kawasan yang lumayan landai ini kita mendapati tanjakan lagi, di kawasan ini pepohonan sudah mulai jarang dan mendekati kawasan non vegetasi. Hembusan angin malam begitu terasa menusuk hingga tulang, oleh karena itu jaket tebal perlu dipersiapkan. Jalur bisa dikatakan tidak begitu terlihat karena yang ada hanya berupa bongkahan-bongkahan batu, kerikil dan gumpalan-gumpalan pasir. Dalam kondisi malam yang gelap gulita kewaspadaan dan kehati-hatian sangat diperlukan, tentunya dengan dukungan sinar senter yang bisa diandalkan agar mampu melewati rute ini. Kurang lebih setengah jam perjalanan dari pos II, puncak sudah terlihat dengan jelas. Setelah melewati tanjakan yang mempesona dan istimewa tadi kita akan mendapati batu prasasti yang bertuliskan beberapa nama pendaki, rute berikutnya adalah turun menuju pasar bubrah.
Nampak beberapa tenda sudah dibangun di kawasan pasar bubrah, pasar bubrah adalah kawasan terakhir bagi pendaki untuk bisa mendirikan tenda. Luas kawasan pasar bubrah ini sangatlah ideal untuk mendirikan tenda, beratus-ratus tenda pun bisa didirikan. Namun meskipun kawasan yang datar tetapi masalahnya adalah bahwa kawasan pasar bubrah merupakan kawasan bebatuan. Jadi kalau mendirikan tenda di kawasan ini harus hunting tempat yang batuannya agak kecil atau lebih banyak berisi pasar agar tenda bisa dipasak dan juga tidurnya nyaman tentunya.
Hampir lima jam yang kami habiskan untuk menempuh perjalanan dari base camp hingga pasar bubrah ini, namun kelelahan terbayar dengan keindahan langit malam yang temaram dengan cahaya bintang-gemintangnya. Tiga tenda pun segera kami dirikan, 2 tenda untuk putra dan 1 tenda untuk putri. Kompor pun segera disiapkan untuk menjerang air panas guna secangkir kopi dan susu jahe penghangat badan. Nasi bungkus yang sudah disiapkan dari base camp segera dibuka dan dibubuhi dengan potongan-potongan ayam dan jamur tiram yang baru saja dihangatkan. Makan malam yang istimewa dan berkesan.
Malam semakin menunjukkan eksistensinya, Sleeping Bag dan matras segera digelar, jarum jam sudah bergerak menunjukkan pukul 02.00 Wib, semua bergerak menuju tenda dan kantong kehangatan masing-masing untuk persiapan sunrise esok pagi.
Sunrise Merapi |
Tebing puncak |
Kring….kriing….kriiiiiing……, Alarm pukul 04.00 Wib berbunyi. Kelopak mata dibuka, api Unggun dinyalakan dengan kayu-kayu hasil pungutan sepanjang jalan, lumayan untuk mengusir dinginnya pagi. Langit masih berhias bintang, perburuan sunrise pasti istimewa. Setelah 2 rakaat ditunaikan, segera kami tinggalkan tenda dan menuju puncak merapi. Di kejauhan atas sana sudah nampak semburat senter pertanda ada makhluk-makhluk yang sudah lebih dulu daripada kami.
Perjalanan dari pasar bubrah menuju puncak ini adalah satu pengalaman dan sensasi yang luar biasa bagi setiap pendaki merapi. Medan berupa batu, kerikil dan pasir dengan rute yang sangat menanjak. Segala ukuran batu dapat ditemukan di sini. Dari strukturnya dapat dilihat kebanyakan batu ini adalah lava dan lahar erupsi yang mengeras membentuk stuktur bebatuan, selain itu juga sempalan-sempalan batu yang muncrat dari perut merapi berserakan di sana-sini. Kehati-hatian dan kewaspadaan pendaki sangat diperlukan, dan pepatah jawa “alon-alon waton klakon” (pelan-pelan asal terlaksana) sepertinya wajib dipatuhi. Setiap kaki melangkah harus pandai-pandai memilih batu untuk pijakan, salah-salah batu tersebut akan menggelinding dan menimpa pendaki di bawah kita. Begitupun juga kehati-hatian mengantisipasi batu yang menggelinding dari atas karena terinjak oleh pendaki di atas kita juga sangat penting untuk diwaspadai. Beberapa kali kita terperosok lagi ke bawah karena licinnya kerikil dan pasir. Berjalan merangkak akan lebih baik karena beban tubuh kita lebih tertopang dengan adanya empat cengkeraman anggota tubuh. Intinya keselamatan adalah utama
Hawa dingin mulai sirna seiring badan yang mulai hangat, dan matahari yang ditunggu-tunggu mulai menampakkan dirinya di ufuk timur sana. Semburat cahaya emas berkilauan membentuk barisan lautan matahari di ujung keterbatasan mata mengartikan langit. Pagi itu, salah satu makhluk-Nya, Matahari, muncul dengan pesona yang teramat sangat istimewa. Pelan-pelan di tengah-tengah barisan lautan cahaya itu muncul kesempurnaan-Nya dalam ciptaan yang maha segala. Terimakasih Tuhan atas segala keindahan pagi di puncak merapi.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak merapi dari pasar bubrah ini kurang lebih satu jam. Dulu puncak merapi ini dikenal dengan puncak garuda, namun puncak garuda ini telah hilang oleh erupsi tahun 2010. Namun demikian kalangan pendaki tetap lebih mengenal pucak Merapi dengan sebutan puncak garuda tersebut. Di atas puncak ini nampaklah lubang raksasa Merapi yang berupa kawah dengan asap sulfataranya mengepul menaiki tangga-tangga tebing batu menuju kebebasannya. Puncak Merapi berupa bongkahan-bongkahan batu raksasa yang strukturnya belum sepenuhnya padat. Oleh karena itu pendaki yang menginjakkan kaki di puncak merapi ini harus benar-benar menjaga diri dari bahaya yang tidak diinginkan. Dari puncak merapi pemandangan membujur seluas langit, keindahan ciptaan-Nya begitu mempesona setiap insan yang memandanganya.
Tak terasa sudah hampir satu jam kami menikmati keindahan puncak merapi, Agenda berikutnya pun adalah turun kembali ke tenda untuk segera menyantap sarapan. Tidak jauh berbeda dengan ketika naik, perjalanan menuruni puncak ini juga sangat berbahaya, terlebih jika lalu lintas pendakian sudah dua arah yaitu ada pendaki naik dan ada pendaki yang turun. Maka kewaspadaan terhadap pilihan pijakan batu dan adanya batu yang jatuh hilang arah karena keinjak oleh pendaki lain harus benar-benar diperhatikan. Segera setelah sampai tenda kompor kembali melakoni perannya, untuk segelas kopi pagi dan sebungkus roti. Ditambah tiga lapisan sandwich isi ayam dan sosis melengkapi sarapan pagi yang mulai terikk itu.
Logistik pagi telah dicerna menjadi asupan gizi, nampak pula para pendaki lain mulai packing tendanya untuk segera melakukan perjalanan kembali ke basecamp. Kami pun segera melakukan aktifitas yang sama, terlebih matahari mulai menyengat tentu akan cepat menguras tenaga jika perjalanan turun dilakukan terlalu siang. Acara doa bersama dan jeprat-jepret dengan background puncak mengawali perjalanan turun. Untuk waktu tempuh turun dari puncak pasar bubrah menuju base camp diperlukan waktu 2 hingga 3 jam saja, karena kami lebih memilih pelan sambil menikmati panorama yang ada maka waktu tempuh turun sampai base camp kami memerlukan waktu 3 jam. Sesampai di Joglo segera mulut kami merapalkan mantra kepada ibu empunya warung agar segera menghidangkan segelas es teh dan semangkuk nasi soto, nikmatnya tak tertandingi.
Tenaga yang tadinya habis sudah mulai pulih kembali, perjalanan dilanjutkan ke basecamp untuk segera melaksanakan 4 rakaat, pamitan dengan penjaga basecamp dan melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Yogyakarta.
Merapi selalu menyajikan keistimewaan yang tak terlupa, kegagahannya, kecantikannya, kekuatannya, kedahsyatannya, adalah cerminan Kuasa-Nya Yang Maha Sempurna. Semoga Tuhan mengijinkan kami untuk kembali menapakkan rindu bersamamu di lain waktu.
Sahabat Lamperan The Explorer:
Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Samhaji, Fery Ade Saputra, Anggi Jatmiko, M Nur Fadhli, Syarif Ahmad Zakky Al Jufri, Rizka Hidayah, Lathifah Vajarini, Ari Subiantara, Eko dan Ansori
aku ora nananananana......
BalasHapussuper sekali...
BalasHapusRil karepe sopo ga melu? Ari sekali super...
BalasHapusKeren sekali
BalasHapusSewa Mobil Jogja