Menggapai Kembali Atap Ketiga Pulau Jawa; Gunung Sumbing 3371 MDPL
Instagram, hanya karena media sosial yang telah diakuisisi oleh facebook inilah yang menyebabkan kisah ini bisa tertulis. Bermula dari sahabat Fadhli yang mention dari akun unexpected_sumbing bahwa base camp gunung Sumbing via dusun Butuh Kaliangkrik Magelang sedang mengadakan kegiatan penanaman pohon dengan tagline "satu pendaki satu pohon sejuta harapan", maka Lamperan The Explorer tergerak untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Satu harapan sederhana, semoga pohon yang kami tanam bisa ikut menghijaukan kembali gunung Sumbing yang pada musim kemarau 2015 kemarin kebakaran.
Selasa 19 Januari 2016. Kami menapakkan langkah kembali, setelah sebelumnya Sumbing kami singgahi pada perjalanan "Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL"
Selasa 19 Januari 2016. Kami menapakkan langkah kembali, setelah sebelumnya Sumbing kami singgahi pada perjalanan "Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL"
Pagi itu jalanan Jogja Magelang ramai lancar. Tiga kuda besi kami beradu kecepatan dengan ribuan kendaraan lain dengan tujuan yang berbeda-beda. Adakah diantara para pengendara itu yang fikirannya tidak terbebani dengan urusan keduniaan?. Setelah kurang lebih 1 jam lewat 45 menit, akhirnya kami sampai di base camp Butuh atau tepatnya rumah bapak dukuh setempat yang sekaligus dijadikan sebagai base camp ini.
Cuaca di base camp sangat berbeda dengan cuaca sepanjang perjalanan. Kabut tipis tertiup angin berkelindan hingga menciptakan gumpalan-gumpalan kabut yang lebih tebal, hujan turun, gemericiknya ibarat simponi pengusir lelah. Waktu yang sangat tepat untuk sekedar aklimatisasi sementara, repacking dan tentunya beramah tamah dengan bapak dukuh yang memang ramah, ala orang Jawa pada umumnya yang begitu riang pada tetamunya. Pun penduduk sekitar yang begitu ramah menyapa.
Jarum jam tak pernah berhenti berdetak -ya iyalah baterainya belum habis-, melaju dan mengantarkan kami mendekati jam sebelas siang. Hujan masih menyisakan buliran-buliran kecil airnya. Setelah mendaftar dan mendapatkan saran tentang cara penanaman pohonnya, tas carrier segera kami angkat di punggung. Beberapa kawan pendaki yang tadinya tiba lebih dulu dari kami juga sudah mulai berangkat, kami tak seberapa menit di belakangnya. Dari catatan yang ada pada buku tamu, hanya ada tujuh pendaki yang berada di atas dengan melalui jalur Butuh ini, dan kemungkinan mereka hari itu turun karena pendakian sudah dimulai sehari sebelumnya. Artinya nanti sepanjang perjalanan akan sepi dan mengasyikkan tentunya.
Bagi para pendaki yang ingin menikmati tangguhnya gunung Sumbing, jalur Butuh Kaliangkrik ini sangat direkomendasikan. Selain medannya sangat mengasyikkan, jalur ini masih relatif sepi dan juga bersih. Base camp Butuh ini terletak di Kabupaten Magelang Jawa tengah, satu diantara tiga jalur yang bisa dilalui oleh para pendaki gunung Sumbing melalui kabupaten Magelang, nantinya tiga jalur ini akan bermuara pada titik yang sama.
Rute: Kota Magelang ->Pasar Kaliangkrik ->Dusun Butuh
Cara tempuh dusun Butuh dengan transportasi umum:
Cuaca di base camp sangat berbeda dengan cuaca sepanjang perjalanan. Kabut tipis tertiup angin berkelindan hingga menciptakan gumpalan-gumpalan kabut yang lebih tebal, hujan turun, gemericiknya ibarat simponi pengusir lelah. Waktu yang sangat tepat untuk sekedar aklimatisasi sementara, repacking dan tentunya beramah tamah dengan bapak dukuh yang memang ramah, ala orang Jawa pada umumnya yang begitu riang pada tetamunya. Pun penduduk sekitar yang begitu ramah menyapa.
Jarum jam tak pernah berhenti berdetak -ya iyalah baterainya belum habis-, melaju dan mengantarkan kami mendekati jam sebelas siang. Hujan masih menyisakan buliran-buliran kecil airnya. Setelah mendaftar dan mendapatkan saran tentang cara penanaman pohonnya, tas carrier segera kami angkat di punggung. Beberapa kawan pendaki yang tadinya tiba lebih dulu dari kami juga sudah mulai berangkat, kami tak seberapa menit di belakangnya. Dari catatan yang ada pada buku tamu, hanya ada tujuh pendaki yang berada di atas dengan melalui jalur Butuh ini, dan kemungkinan mereka hari itu turun karena pendakian sudah dimulai sehari sebelumnya. Artinya nanti sepanjang perjalanan akan sepi dan mengasyikkan tentunya.
Bagi para pendaki yang ingin menikmati tangguhnya gunung Sumbing, jalur Butuh Kaliangkrik ini sangat direkomendasikan. Selain medannya sangat mengasyikkan, jalur ini masih relatif sepi dan juga bersih. Base camp Butuh ini terletak di Kabupaten Magelang Jawa tengah, satu diantara tiga jalur yang bisa dilalui oleh para pendaki gunung Sumbing melalui kabupaten Magelang, nantinya tiga jalur ini akan bermuara pada titik yang sama.
Berikut tiga jalur pendakian gunung Sumbing via Magelang:
1. Jalur Dusun BUTUH, Desa temanggung, Kec. Kaliangkrik, Kab. Magelang
Rute: Kota Magelang ->Pasar Kaliangkrik ->Dusun Butuh
Cara tempuh dusun Butuh dengan transportasi umum:
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jalur Kaliangkrik, turun di pasar Kaliangkrik. Dari pasar ini sudah tidak ada angkutan umum lagi, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Butuh bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Butuh.
Cara tempuh dusun Butuh dengan transportasi pribadi:
Dari Arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, pertigaan Pabelan atau pertigaan menuju Borobudur sebelum Kota Magelang ambil arah kiri menuju arah Borobudur-Purworejo. Lurus melewati Borobudur menuju arah Purworejo, setelah melewati pasar Krasak Salaman lihat penunjuk arah ke Kaliangkrik / Curug Silawe. Ambil arah belok kanan mengikuti rute curug Silawe tersebut hingga sampai Desa Ngawonggo, satu kampung sebelum pasar Kaliangkrik. Ambil arah belok kiri hingga menemukan pertigaan ke kanan di desa Temanggung dengan plang arah Dusun Butuh. Kemudian ambil kanan mengikuti petunjuk desa Butuh dan terus melaju hingga ujung dari jalan tersebut, disitulah dusun Butuh Berada. Apabila ragu bisa tanya penduduk setempat.
Dari Arah Semarang, ambil jalur Semarang Magelang. Setelah sampai di Kota Magelang ambil arah kanan atau ikuti plang arah Kaliangkrik, sampai di pasar Kaliangkrik masih lurus hingga ketemu desa Ngawonggo, kemudian lanjutkan seperti jalur dari Jogja di atas.
Keterangan: Jalur Butuh ini cukup mengayikkan karena perpaduan antara jalur menanjak dan jalur landai dengan melewati beberapa sungai yang indah.
Rute: Rute: Kota Magelang ->Kec Bandongan ->Pasar Kalegen ->Dusun Mangli
Cara tempuh dusun Mangli dengan transportasi umum:
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jurusan Bandongan, turun di dipertigaan Desa Tonoboyo. Dari pertigaan Tonoboyo dilanjutkan dengan naik angkutan desa dan turun di pasar Kalegen. Dari pasar Kalegen ini sudah tidak ada angkutan umum lagi kecuali ojek, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Mangli bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Mangli.
Cara tempuh dusun Mangli dengan transportasi pribadi:
Dari arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, setelah ketemu dengan alun-alun kota Magelang ambil arah kiri lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik. Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen masih lurus dan langsung menuju Dusun Mangli. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Dari arah semarang, ambil jalur Semarang – Magelang, setelah sampai Kota Magelang ambil arah kanan lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik, Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen masih lurus dan langsung menuju Dusun Mangli. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Keterangan: Di Dusun mangli ini base camp resmi pendakian bisa ijin Kadus setempat. Kondisi jalur lumayan terjal dan akan bertemu dengan jalur butuh pada pertigaan menjelang Pos III.
Rute: Kota Magelang - Kec Bandongan - Pasar Kalegen - Dusun Petung
Cara tempuh dusun Petung dengan transportasi umum:
Cara tempuh dusun Butuh dengan transportasi pribadi:
Dari Arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, pertigaan Pabelan atau pertigaan menuju Borobudur sebelum Kota Magelang ambil arah kiri menuju arah Borobudur-Purworejo. Lurus melewati Borobudur menuju arah Purworejo, setelah melewati pasar Krasak Salaman lihat penunjuk arah ke Kaliangkrik / Curug Silawe. Ambil arah belok kanan mengikuti rute curug Silawe tersebut hingga sampai Desa Ngawonggo, satu kampung sebelum pasar Kaliangkrik. Ambil arah belok kiri hingga menemukan pertigaan ke kanan di desa Temanggung dengan plang arah Dusun Butuh. Kemudian ambil kanan mengikuti petunjuk desa Butuh dan terus melaju hingga ujung dari jalan tersebut, disitulah dusun Butuh Berada. Apabila ragu bisa tanya penduduk setempat.
Dari Arah Semarang, ambil jalur Semarang Magelang. Setelah sampai di Kota Magelang ambil arah kanan atau ikuti plang arah Kaliangkrik, sampai di pasar Kaliangkrik masih lurus hingga ketemu desa Ngawonggo, kemudian lanjutkan seperti jalur dari Jogja di atas.
Keterangan: Jalur Butuh ini cukup mengayikkan karena perpaduan antara jalur menanjak dan jalur landai dengan melewati beberapa sungai yang indah.
2. Jalur Dusun MANGLI, Desa Kebonlegi, Kec. Kaliangkrik, Kab. Magelang
Rute: Rute: Kota Magelang ->Kec Bandongan ->Pasar Kalegen ->Dusun Mangli
Cara tempuh dusun Mangli dengan transportasi umum:
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jurusan Bandongan, turun di dipertigaan Desa Tonoboyo. Dari pertigaan Tonoboyo dilanjutkan dengan naik angkutan desa dan turun di pasar Kalegen. Dari pasar Kalegen ini sudah tidak ada angkutan umum lagi kecuali ojek, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Mangli bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Mangli.
Cara tempuh dusun Mangli dengan transportasi pribadi:
Dari arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, setelah ketemu dengan alun-alun kota Magelang ambil arah kiri lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik. Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen masih lurus dan langsung menuju Dusun Mangli. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Dari arah semarang, ambil jalur Semarang – Magelang, setelah sampai Kota Magelang ambil arah kanan lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik, Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen masih lurus dan langsung menuju Dusun Mangli. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Keterangan: Di Dusun mangli ini base camp resmi pendakian bisa ijin Kadus setempat. Kondisi jalur lumayan terjal dan akan bertemu dengan jalur butuh pada pertigaan menjelang Pos III.
3. Jalur Dusun PETUNG, Desa Ngemplak, Kec. Windusari, Kab Magelang
Rute: Kota Magelang - Kec Bandongan - Pasar Kalegen - Dusun Petung
Cara tempuh dusun Petung dengan transportasi umum:
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jurusan Bandongan, turun di dipertigaan Desa Tonoboyo. Dari pertigaan Tonoboyo dilanjutkan dengan naik angkutan desa dan turun di pasar Kalegen. Dari pasar Kalegen ini sudah tidak ada angkutan umum lagi kecuali ojek, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Petung bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Petung.
Cara tempuh dusun Petung dengan transportasi pribadi:
Dari arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, setelah ketemu dengan alun-alun kota Magelang ambil arah kiri lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik. Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen ambil kanan dan langsung menuju Dusun petung. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Dari arah semarang, ambil jalur Semarang – Magelang, setelah sampai Kota Magelang ambil arah kanan lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik, lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen ambil kanan dan langsung menuju Dusun petung. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Keterangan: Untuk menempuh dusun Petung dan dusun Mangli ini memang sama arahnya hingga pasar Kalegen. Yang membedakan adalah ketika sudah sampai pada pertigaan pasar Kalegen, kalau ingin ke dusun Mangli maka mengambil jalan lurus, sedangkan jika ingin ke dusun Petung maka ambil arah kanan. Di dusun Petung ini pendakian bisa minta ijin kepada kepala dukuh setempat. Jalur pendakian cukup terjal, cocok untuk penyuka tantangan. Jalur Petung akan bertemu dengan Jalur Butuh pada pertengahan antara Pos III dan Pos IV.
Cara tempuh dusun Petung dengan transportasi pribadi:
Dari arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, setelah ketemu dengan alun-alun kota Magelang ambil arah kiri lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik. Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen ambil kanan dan langsung menuju Dusun petung. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Dari arah semarang, ambil jalur Semarang – Magelang, setelah sampai Kota Magelang ambil arah kanan lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik, lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen ambil kanan dan langsung menuju Dusun petung. Apabila ragu lebih baik tanya warga.
Keterangan: Untuk menempuh dusun Petung dan dusun Mangli ini memang sama arahnya hingga pasar Kalegen. Yang membedakan adalah ketika sudah sampai pada pertigaan pasar Kalegen, kalau ingin ke dusun Mangli maka mengambil jalan lurus, sedangkan jika ingin ke dusun Petung maka ambil arah kanan. Di dusun Petung ini pendakian bisa minta ijin kepada kepala dukuh setempat. Jalur pendakian cukup terjal, cocok untuk penyuka tantangan. Jalur Petung akan bertemu dengan Jalur Butuh pada pertengahan antara Pos III dan Pos IV.
Lamperan The Explorer Melangkah.....
Base Camp – Pos I, Seribu Tanjakan Satu Keyakinan.
Perjalanan sesunggunya dimulai. Tas karir mulai menghangatkan punggung, halus desiran angin tetap saja menelusup pori-pori, hujan masih enggan beranjak pergi. Kami berlima melangkah penuh keyakinan, kali ini kami semua harus sampai puncak. Pengalaman pada pendakian awal tahun 2014 kemarin semoga jangan terulang lagi. Waktu itu cuaca cukup ekstrim, beberapa teman kalah melawan lelahnya sendiri hingga tidak bisa mencapai puncak. Kisah pendakian gunung Sumbing waktu kami tulis dalam “Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL”.
Medan dari Base camp menuju Pos I merupakan tanjakan yang lumayan terjal. Setiap pendaki sudah diuji nyalinya di sini. Bila stamina tidak fit, rute ini sudah cukup membuat nafas terengah-engah. Menantang keyakinan, sanggupkah kita mencapai gagahnya puncak Sumbing. Medan menuju pos I ini berupa ladang penduduk desa Butuh. Berbagai tanaman sayuran nampak menghijau, disinilah warga Butuh menaruh harapan tentang masa depan mereka.
Kurang lebih satu setengah jam perjalanan Pos I sudah terlihat. Pos I terletak di ujung ladang penduduk, di pos ini bisa mendirikan satu atau dua tenda saja karena tanah lapangnya tidak begitu luas. Sampai di titik ini, perut kami sudah mulai menyanyikan lagu siang hari. Namun kami lebih memilih tempat yang lebih rimbun, agar nuansa sudah benar-benar terasa di gunung bukan lagi di lading sayuran.
Berjalan beberapa meter dari Pos I ini maka kita akan mulai memasuki vegetasi hutan pinus yang penuh aroma kesegaran. Hirup dulu dalam-dalam aroma khasnya, jauh lebih segar dan sehat daripada aroma terapi yang ditawarkan di mal dan supermarket. Gayung bersambut, tanah yang lumayan datar dengan pepohonannya yang begitu rimbun kami dapatkan. Makan siang kami gelar, gulai ayam dipanaskan, bersama sebungkus nasi putih nanpulen, makan siang yang begitu nikmat dan sempurna.
Pos I – Pos II, Tanjakan Virus Tanpa Putus.
Tubuh sudah mulai hangat kembali, kurang lebih tiga puluh menit kami menikmati perbekalan, saatnya perjalanan dilanjutkan. Tanjakan yang tak terlihat ujungnya menantang di depan kami, Tanjakan Virus kami menamainya. Memang seperti virus, anak tangganya terus menjalar ke atas tanpa ujung yang terlihat, sangat menggembirakan. Medan dari pos I ke Pos II ini masih berupa tanjakan berbatu sebagaimana medan sebelum pos I tadi. Namun dari segi kemiringan, medan ini sepertinya lebih terjal sehingga lebih membutuhkan tenaga ekstra.
Serasa ada yang aneh dan berbeda ketika kami melewati medan ini. Hutan yang dulunya lebat kenapa kini nampak gersang. Rerumputan juga tumbuh jarang-jarang, hanya beberapa tunas pakis saja yang nampaknya sudah mulai subur disiram hujan. Sesak rasanya melihat pemandangan ini. Kebakaran yang terjadi pada musim kemarau tahun 2015 kemarin benar-benar menyisakan keprihatinan. Sumbing yang dua tahun lalu begitu hijau, kini hampir sepanjang perjalanan yang kami saksikan hanya sisa-sia kayu yang sudah kecoklatan, bahkan gosong berupa arang.
Kurang lebih satu setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan dari pos I ke Pos II ini. Di pos II ini bisa juga mendirikan tenda, sekitar tiga tenda bisa didirikan di lokasi yang sudah disiapkan oleh warga setempat. Kawan pendaki Tangerang yang tadi berangkat duluan ternyata sedang menikmati makan siangnya di pos II ini, kami hanya sekedar menghela nafas dan meneguk beberapa air saja. Setelah berpamitan dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan kawan tangerang tadi, perjalanan kami lanjutkan.
Pos II berada di ujung tanjakan, sehingga setelah melewati pos ini maka saatnya kita memanjakan kaki dan punggung yang terus terdesak oleh tas carrier. Pos II menuju Pos III Gunung Sumbing Jalur Butuh ini sungguh sangat mengasyikkan. Medannya berupa jalanan datar dengan membelah bukit-bukit. Untuk menuju pos III ini kita akan melewati sungai dengan pemandangan yang menakjubkan, total ada delapan sungai yang harus kita lewati untuk sampai pos III dan membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam. Jika hujan deras maka debit sungai itu akan lebih banyak namun jika hujan hanya rintik, maka beberapa sungai akan nampak kering atau hanya berupa tetesan-tetesan air saja. Diantara beberapa sungai inilah kami mulai menanam bibit pohon yang kami bawa, semoga kalian tumbuh subur disana.
Bebatuan yang berserakan sepanjang sungai, sungguh sangat mempesona. Susunan kerapiannya tertata secara alami membentuk keajaiban yang sesunguhnya. Kurang lebih sepuluh sampai lima belas menit kita akan kembali mendapati sungai, begitu seterusnya sepanjang perjalanan. Setelah melewati sungai ke delapan, maka kita akan menemui pertigaan. Pertigaan inilah yang merupakan jalur pertemuan dari jalur Mangli Kecamatan kaliangkrik. Hati-hati jangan sampai belok kanan dan turun, karena itu artinya kembali ke jalur Mangli. Tidak jauh dari pertigaan jalur Mangli ini pos III berada. Area camping di pos III sudah diperluas sehingga muat sekira empat hingga lima tenda.
Secara geografis, base camp Butuh terletak di sisi selatan gunung Sumbing. Oleh karena itu rute dari pos I ke Pos II berjalan naik ke arah utara. Sesampai di pos II maka perjalanan akan berbelok tajam ke arah timur gunung Sumbing. Inilah alasan kenapa medan dari pos II ke pos III lumayan datar namun membelah bukit-bukit dari sisi sampingnya.
Pohon Tunggal adalah sebutan untuk sebuah pohon yang memang berdiri sendiri di sebuah kawasan yang vegetasinya sudah didominasi oleh tumbuhan pendek sebagaimana sabana. Disitulah pos IV berada dan disitulah pula kami akan mendirikan tenda.
Perjalanan dari pos III menuju Pos IV berupa medan kombinasi antara rute yang lumayan landai dan juga tanjakan namun tak sebegitu terjal. Di rute ini masih tersisa dua buah sungai yang harus kita lewati karena jumlah total sungai ada sepuluh buah. Sungai terakhir atau sungai ke sepuluh adalah sungai yang sangat lebar dibanding sungai lainnya. Air di sungai kesepuluh ini juga relatif akan lebih konsisten untuk mengalir. Pemandangannya sangat eksotis, batu-batu besar berserakan dan gemericik air mengalir menjadikan suasana romantis penuh pesona.
Di sungai terakhir ini kami istirahat beberapa waktu, bersujud mengingat-NYA, serta mengisi botol air kosong yang sudah dipersiapkan dari bawah. Jika ingin menambah perbekalan air, maka sungai di sungai kesepuluh ini harus diisi karena sudah tidak ada sungai lagi. Airnya jernih, rasanya juga begitu segar, lebih segar dari air es tawar apalagi air mineral botolan.
Sungai kesepuluh ini sudah berada di arah timur gunung sumbing, bahkan sudah lebih condong ke arah timur laut. Sebagaiman letak Pohon Tunggal adalah berada di sisi timur laut gunung Sumbing. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki tanjakan-tanjakan yang tidak begitu terjal juga beberapa medan landai hingga bertemu dengan pertigaan kedua. Pertigaan ini merupakan titik temu jalur dusun Petung desa Ngemplak kecamatan Windusari. Jangan sampai keliru belok kanan dan menurun, untuk mencapai puncak perjalanan dilanjutkan dengan mengambil arah lurus dan menanjak.
Medan setelah pertigaan titik pertemuan jalur Petung tadi lumayan terjal, sampai akhirnya kita akan menemukan pos IV atau Pohon tunggal. Jika badan sudah mulai capek, maka medan untuk mencapai pohon tunggal ini cukup melelahkan. Sesampai di pohon tungal ternyata sudah ada tiga tenda yang berdiri. Mereka bukanlah pendaki yang naik dari jalur Butuh yang sudah naik pada hari sebelumnya, karena kawan pendaki itu sudah turun dan berpapasan di perjalanan antara pos II dan Pos III. Tetapi ketiga tenda tersebut adalah para pendaki yang naik melalui jalur Mangli.
Kurang lebih dua jam waktu yang diperlukan dari pos III menuju pos IV ini. Tepat dimana hari sudah mulai gelap, kami sampai di pos Pohon Tunggal. Senja menghilang, Magrib menjelang. Tenda kami dirikan bersama bisikan angin malam yang mulai menyentuh badan. Tak seberapa lama kawan pendaki dari Tangerang juga menyusul datang dan ikut mendirikan tenda.
Malam terasa syahdu. Ketupat ayam saus tiram menghangatkan tubuh kami malam itu, saling membual cerita dalam temaram lampu tenda menutup malam dengan badan lelah yang terselimuti hangatnya sleeping bag. Terimakasih Tuhan, bangunkan kami esok pagi sebelum mataharimu menghias bumi pertiwi.
Kring-kring. Alarm berbunyi, dua rokaat menanti. Cuci muka atau setidaknya sapu dengan tisu basah agar wajah tak begitu mengkilat oleh cahaya pagi. Meski belum kawasan puncak, namun pos Pohon Tunggal sudah sangat ideal untuk berburu matahari pagi. Kawasan ini sangat terang hanya ditumbuhi oleh rerumputan, jadi ketika jingga keemasan menantang di ufuk timur sana, maka apa lagi yang hendak diucapkan selain ucap syukur atas nikmat Tuhan yang begitu istimewa tak terbantahkan.
Matahari sudah merangkak menaiki tangga langit, pacu semangat karena puncak terlihat begitu gagah di atas sana. Tenda dan peralatan-peralatan lainnya kami tinggalkan di pos IV. Perjalanan dimulai kembali untuk menuju puncak. Dengan cuaca yang sangat terang, pemandangan nampak begitu istimewa. Deretan perkampungan dan kota di bawah sana beradu dengan kilatan sinar matahari, bukit-bukit nampak menghijau sungguh anugerah tak terkira. Satu jam perjalanan dari pos IV ini maka kami mendapati Puncak Sejati Gunung Sumbing atau disebut juga puncak Kaliangkrik. Tuhan maha baik, sesampai di puncak pemandangan begitu cerah. Tebing-tebing batu menjulang tinggi mengitari kawah gunung sumbing, Nampak di area kawah tersebut kepulan asap yang menandakan bahwa kawah gunung Sumbing masih aktif. Gagah, eksotis, tak ternilai, kami takjub.
Puncak Sejati gunung Sumbing bukanlah tujuan akhir pendakian, bagi yang masih punya nyali dan tentunya tenaga maka perjalanan bisa dilanjutkan dengan masuk ke area kawah dan mendaki lagi menuju puncak Buntu atau Puncak Rajawali. Puncak Buntu merupakan puncak tertinggi di gunung Sumbing yang lebih mudah dijangkau jika pendakian dilakukan dari arah Garung Wonosobo atau arah Temanggung. Namun jika pendakian dilakukan dari arah Magelang, maka untuk menujunya pendaki harus masuk dulu ke area kawah.
Jangan pesimis dulu, justru di area kawah inilah beberapa keajaiban Tuhan bisa kita temukan. Untuk menuju kawah ini ada dua jalan. Pertama dapat ditempuh melalui jalur Watu Tunggangan, jalur ini landai dan menurun. Jalur Watu Tunggangan ini terletak sekira sepuluh menit sebelum puncak, berupa pertigaan ke arah kanan dan menurun. Jalan yang kedua yaitu melalui Watu Lawang. Watu Lawang adalah satu keajaiban Tuhan yang terdapat di puncak Sumbing ini. Bentuknya mirip dengan sebuah pintu, namun pintu tersebut tersusun secara alami membentuk pesona keindahan, sayangnya vandalisme telah mengotorinya. Jalur yang kedua ini juga terletak sebelum puncak Sejati. Perlu kehati-hatian ekstra jika ingin menuju kawah melalui Watu Lawang ini. Medannya sangat curam, mungkin kemiringannya 75 sampai 80 derajat. Jika kita masuk ke lubang watu lawang ini, maka hampir tak percaya bahwa ke bawah sana ada jalan yang bisa dilewati. Disarankan pendaki yang sudah berpengalaman jika ingin melewati jalur Watu Lawang ini.
Dengan penuh keyakinan, setelah puas menghirup kesegaran udara dan memuaskan dahaga mata, kami putuskan untuk menuju kawah melalui jalur watu lawang ini. Dua tangan dan dua kaki harus saling menopang, tak jarang kita harus berjalan dengan merambat agar pijakan kaki kuat tak tergelincir. Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk menuruni watu lawang ini hingga sampai di kawasan sabana.
Ujung dari Watu Lawang adalah kawasan luas dan datar yang merupakan sabana nan indah. Batu-batu besar berserakan dimana-mana, saling berhimpit dengan hijaunya sabana mampu mencipta pesona Indonesia yang luar biasa. Kanan-kiri depan-belakang adalah tebing-tebing batu curam yang tertata mencipta lukisan alam tak ternilai harganya, di kawasan sabana kawah ini kita seperti di bawa pada jaman batu yang teramat indah.
Terus berjalan menyusuri bebatuan itu, tak seberapa lama padang sabana hadir di depan kita. Sabana Roman Taji, begitulah penduduk sekitar menyebutnya, bak taman di dalam syurga. Sebuah sabana indah nan mewah yang terletak di area kawah.
Terus berjalan menyusuri sabana jangan lupa pandangi setiap sudutnya, perjalanan dilanjutkan dengan kembali menaiki tanjakan yang tak seberapa tinggi. Bertemu kembali dengan dataran, disitulah kawah gunung Sumbing mengepulkan asap. Aroma belerang, tumpukan-tumpukan batu putih kekuningan dan gemuruh suara kawah mendidih menyajikan panorama luar biasa. Di kawasan kawah ini juga terdapat makam Kyai Makukuhan, sosok yang diyakini sebagai penyebar agama di lereng gunung Sumbing.
Sabana hijau nan cantik, gemuruh kawah dan panorama bebatuannya, belumlah selesai keajaiban di puncak gunung Sumbing ini. Satu lagi primadonanya, Segara Wedi disebutnya. Segara Wedi yang bisa diartikan sebagai Lautan Pasir, adalah kawasan berupa endapan pasir dari aliran kawah gunung Sumbing. Aliran kawah gunung Sumbing yang mengarah ke utara ini meninggalkan sedimentasi di kawasan yang lebih rendah. Pasir putih kecoklatan mengendap dan menjadikan kawasan itu bak lautan pasir. Sungguh mempesona, tidak rugi perjalanan secapek dan sesusah apapun akan terbayar disini.
Tiga spot dalam satu kawasan puncak kawah ini benar-benar menghadirkan pengalaman yang berbeda. Sabana Roman Taji, Kawah dan Segara Wedi akan terus terngiang keindahannya meski kabut kehidupan menyelimuti segenap pikiran.
Setelah puas berkeliling dan menikmati kawasan puncak kawah ini, ternyata matahari sudah meninggi. Kabut dan angin saling membalap, sebentar kabut sebentar terang. Sebenarnya masih ada satu titik lagi yang akan kami singgahi yaitu puncak Buntu atau puncak Rajawali. Untuk mencapainya dari arah kawah ini, tinggal melanjutkan perjalanan dengan menaiki tanjakan di atas area kawah. Namun siang itu kabut terus menebal, daripada bertaruh harapan, maka keputusan untuk kembali ke pos pohon tunggal adalah pilihan yang lebih masuk akal, terlebih satu kawan kami staminanya sudah mulai menurun.
Untuk kembali ke pos Pohon Tunggal maka jalan yang ditempuh dari kawah adalah melewati jalur yang satunya yaitu jalur landai atau yang disebut sebagai Watu Tunggangan. Sepertinya tidak mungkin jika kembali keatas dengan melalui jalur Watu lawang karena jika dilihat dari bahwa, jalur watu Lawang ini sangat terjal. Jadi tidak direkomendasikan, bahkan juga oleh penduduk sekitar Sumbing.
Benar saja, belum juga kami sampai di kawasan puncak, hujan sudah turun. Akhirnya perjalanan pulang dari puncak ke pos IV atau pos Pohon Tunggal kami lalui dengan hujan-hujanan. Perbekalan yang kami bawa waktu itu hanya peralatan untuk minum saja, sedangkan jas hujan kami tinggal di tenda. Sesampai di tenda hujan masih juga belum reda. Baju basah segera kami ganti dengan yang lebih hangat, tak lupa perut juga perlu segera dihangatkan. Siang itu menunya soto ayam. Kuahnya yang mengepulkan asap dan aroma gurihnya begitu lezat disantap saat perut sudah lapar ditemani gemerincik hujan.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.00. ketika hujan mulai reda. Segala peralatan dan perlengkapan dipacking kembali ke dalam carrier, tak lupa sampah-sampah dikumpulkan kedalam trashbag untuk dibawa kembali pulang. Jarum jam sudah bergeser kembali mendekati angka 16.00, perjalanan turun kami lanjutkan. Sekali lagi Tuhan Maha Baik. Sore itu gunung Sumbing hanya menyisakan rintik gerimisnya, tidak ada hujan lagi. Perjalanan turun menjadi lebih lancar. Kurang lebih empat jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke base camp kembali. Jam 19.45 badan kami kembali tergeletak di base camp.
Mata sudah mulai mengantuk, badan juga sepertinya tak begitu prima jika harus memacu kuda besi kembali ke Yogyakarta. Akhirnya kami meminta ijin kepada bapak dukuh untuk menginap di base camp dan melanjutkan perjalanan pulang esok harinya.
Sumbing, pesonamu selalu meninggalkan kesan. Masih ada harapan suatu saat aku kembali menjumpaimu, semoga dengan wajahmu yang lebih segar dan lebih hijau.
Teruslah melangkah, karena dengan melangkah berarti bergerak, dan dengan bergerak maka berarti hidup.
Sahabat Lamperan The Explorer:
Perjalanan sesunggunya dimulai. Tas karir mulai menghangatkan punggung, halus desiran angin tetap saja menelusup pori-pori, hujan masih enggan beranjak pergi. Kami berlima melangkah penuh keyakinan, kali ini kami semua harus sampai puncak. Pengalaman pada pendakian awal tahun 2014 kemarin semoga jangan terulang lagi. Waktu itu cuaca cukup ekstrim, beberapa teman kalah melawan lelahnya sendiri hingga tidak bisa mencapai puncak. Kisah pendakian gunung Sumbing waktu kami tulis dalam “Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL”.
Medan dari Base camp menuju Pos I merupakan tanjakan yang lumayan terjal. Setiap pendaki sudah diuji nyalinya di sini. Bila stamina tidak fit, rute ini sudah cukup membuat nafas terengah-engah. Menantang keyakinan, sanggupkah kita mencapai gagahnya puncak Sumbing. Medan menuju pos I ini berupa ladang penduduk desa Butuh. Berbagai tanaman sayuran nampak menghijau, disinilah warga Butuh menaruh harapan tentang masa depan mereka.
Pos I, Ujung ladang penduduk |
Kurang lebih satu setengah jam perjalanan Pos I sudah terlihat. Pos I terletak di ujung ladang penduduk, di pos ini bisa mendirikan satu atau dua tenda saja karena tanah lapangnya tidak begitu luas. Sampai di titik ini, perut kami sudah mulai menyanyikan lagu siang hari. Namun kami lebih memilih tempat yang lebih rimbun, agar nuansa sudah benar-benar terasa di gunung bukan lagi di lading sayuran.
Berjalan beberapa meter dari Pos I ini maka kita akan mulai memasuki vegetasi hutan pinus yang penuh aroma kesegaran. Hirup dulu dalam-dalam aroma khasnya, jauh lebih segar dan sehat daripada aroma terapi yang ditawarkan di mal dan supermarket. Gayung bersambut, tanah yang lumayan datar dengan pepohonannya yang begitu rimbun kami dapatkan. Makan siang kami gelar, gulai ayam dipanaskan, bersama sebungkus nasi putih nanpulen, makan siang yang begitu nikmat dan sempurna.
Pos I – Pos II, Tanjakan Virus Tanpa Putus.
Tubuh sudah mulai hangat kembali, kurang lebih tiga puluh menit kami menikmati perbekalan, saatnya perjalanan dilanjutkan. Tanjakan yang tak terlihat ujungnya menantang di depan kami, Tanjakan Virus kami menamainya. Memang seperti virus, anak tangganya terus menjalar ke atas tanpa ujung yang terlihat, sangat menggembirakan. Medan dari pos I ke Pos II ini masih berupa tanjakan berbatu sebagaimana medan sebelum pos I tadi. Namun dari segi kemiringan, medan ini sepertinya lebih terjal sehingga lebih membutuhkan tenaga ekstra.
Tanjakan menuju pos II |
Kurang lebih satu setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan dari pos I ke Pos II ini. Di pos II ini bisa juga mendirikan tenda, sekitar tiga tenda bisa didirikan di lokasi yang sudah disiapkan oleh warga setempat. Kawan pendaki Tangerang yang tadi berangkat duluan ternyata sedang menikmati makan siangnya di pos II ini, kami hanya sekedar menghela nafas dan meneguk beberapa air saja. Setelah berpamitan dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan kawan tangerang tadi, perjalanan kami lanjutkan.
Pos II – Pos III, saatnya berlari dan mandi di sungai.
Pos II berada di ujung tanjakan, sehingga setelah melewati pos ini maka saatnya kita memanjakan kaki dan punggung yang terus terdesak oleh tas carrier. Pos II menuju Pos III Gunung Sumbing Jalur Butuh ini sungguh sangat mengasyikkan. Medannya berupa jalanan datar dengan membelah bukit-bukit. Untuk menuju pos III ini kita akan melewati sungai dengan pemandangan yang menakjubkan, total ada delapan sungai yang harus kita lewati untuk sampai pos III dan membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam. Jika hujan deras maka debit sungai itu akan lebih banyak namun jika hujan hanya rintik, maka beberapa sungai akan nampak kering atau hanya berupa tetesan-tetesan air saja. Diantara beberapa sungai inilah kami mulai menanam bibit pohon yang kami bawa, semoga kalian tumbuh subur disana.
Salah satu sungai yang membelah jalur antar Pos II dan Pos III |
Bebatuan yang berserakan sepanjang sungai, sungguh sangat mempesona. Susunan kerapiannya tertata secara alami membentuk keajaiban yang sesunguhnya. Kurang lebih sepuluh sampai lima belas menit kita akan kembali mendapati sungai, begitu seterusnya sepanjang perjalanan. Setelah melewati sungai ke delapan, maka kita akan menemui pertigaan. Pertigaan inilah yang merupakan jalur pertemuan dari jalur Mangli Kecamatan kaliangkrik. Hati-hati jangan sampai belok kanan dan turun, karena itu artinya kembali ke jalur Mangli. Tidak jauh dari pertigaan jalur Mangli ini pos III berada. Area camping di pos III sudah diperluas sehingga muat sekira empat hingga lima tenda.
Secara geografis, base camp Butuh terletak di sisi selatan gunung Sumbing. Oleh karena itu rute dari pos I ke Pos II berjalan naik ke arah utara. Sesampai di pos II maka perjalanan akan berbelok tajam ke arah timur gunung Sumbing. Inilah alasan kenapa medan dari pos II ke pos III lumayan datar namun membelah bukit-bukit dari sisi sampingnya.
Pos III – Pos IV, Merindukan Pohon Tunggal
Pohon Tunggal adalah sebutan untuk sebuah pohon yang memang berdiri sendiri di sebuah kawasan yang vegetasinya sudah didominasi oleh tumbuhan pendek sebagaimana sabana. Disitulah pos IV berada dan disitulah pula kami akan mendirikan tenda.
Perjalanan dari pos III menuju Pos IV berupa medan kombinasi antara rute yang lumayan landai dan juga tanjakan namun tak sebegitu terjal. Di rute ini masih tersisa dua buah sungai yang harus kita lewati karena jumlah total sungai ada sepuluh buah. Sungai terakhir atau sungai ke sepuluh adalah sungai yang sangat lebar dibanding sungai lainnya. Air di sungai kesepuluh ini juga relatif akan lebih konsisten untuk mengalir. Pemandangannya sangat eksotis, batu-batu besar berserakan dan gemericik air mengalir menjadikan suasana romantis penuh pesona.
Di sungai terakhir ini kami istirahat beberapa waktu, bersujud mengingat-NYA, serta mengisi botol air kosong yang sudah dipersiapkan dari bawah. Jika ingin menambah perbekalan air, maka sungai di sungai kesepuluh ini harus diisi karena sudah tidak ada sungai lagi. Airnya jernih, rasanya juga begitu segar, lebih segar dari air es tawar apalagi air mineral botolan.
Bismillah, menanam pohon |
Sungai kesepuluh ini sudah berada di arah timur gunung sumbing, bahkan sudah lebih condong ke arah timur laut. Sebagaiman letak Pohon Tunggal adalah berada di sisi timur laut gunung Sumbing. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki tanjakan-tanjakan yang tidak begitu terjal juga beberapa medan landai hingga bertemu dengan pertigaan kedua. Pertigaan ini merupakan titik temu jalur dusun Petung desa Ngemplak kecamatan Windusari. Jangan sampai keliru belok kanan dan menurun, untuk mencapai puncak perjalanan dilanjutkan dengan mengambil arah lurus dan menanjak.
Medan setelah pertigaan titik pertemuan jalur Petung tadi lumayan terjal, sampai akhirnya kita akan menemukan pos IV atau Pohon tunggal. Jika badan sudah mulai capek, maka medan untuk mencapai pohon tunggal ini cukup melelahkan. Sesampai di pohon tungal ternyata sudah ada tiga tenda yang berdiri. Mereka bukanlah pendaki yang naik dari jalur Butuh yang sudah naik pada hari sebelumnya, karena kawan pendaki itu sudah turun dan berpapasan di perjalanan antara pos II dan Pos III. Tetapi ketiga tenda tersebut adalah para pendaki yang naik melalui jalur Mangli.
Rute Pos II - Pos IV |
Kurang lebih dua jam waktu yang diperlukan dari pos III menuju pos IV ini. Tepat dimana hari sudah mulai gelap, kami sampai di pos Pohon Tunggal. Senja menghilang, Magrib menjelang. Tenda kami dirikan bersama bisikan angin malam yang mulai menyentuh badan. Tak seberapa lama kawan pendaki dari Tangerang juga menyusul datang dan ikut mendirikan tenda.
Malam terasa syahdu. Ketupat ayam saus tiram menghangatkan tubuh kami malam itu, saling membual cerita dalam temaram lampu tenda menutup malam dengan badan lelah yang terselimuti hangatnya sleeping bag. Terimakasih Tuhan, bangunkan kami esok pagi sebelum mataharimu menghias bumi pertiwi.
Sunrise Pohon Tunggal, meninggalkan kesan bahwa keindahan Tuhan tak Terbantahkan.
Kring-kring. Alarm berbunyi, dua rokaat menanti. Cuci muka atau setidaknya sapu dengan tisu basah agar wajah tak begitu mengkilat oleh cahaya pagi. Meski belum kawasan puncak, namun pos Pohon Tunggal sudah sangat ideal untuk berburu matahari pagi. Kawasan ini sangat terang hanya ditumbuhi oleh rerumputan, jadi ketika jingga keemasan menantang di ufuk timur sana, maka apa lagi yang hendak diucapkan selain ucap syukur atas nikmat Tuhan yang begitu istimewa tak terbantahkan.
Sunrise Pohon Tunggal |
Menyambut dan mendekap sunrise pohon tunggal |
Menggapai Puncak, Memburu Kecantikan Segara Wedi
Matahari sudah merangkak menaiki tangga langit, pacu semangat karena puncak terlihat begitu gagah di atas sana. Tenda dan peralatan-peralatan lainnya kami tinggalkan di pos IV. Perjalanan dimulai kembali untuk menuju puncak. Dengan cuaca yang sangat terang, pemandangan nampak begitu istimewa. Deretan perkampungan dan kota di bawah sana beradu dengan kilatan sinar matahari, bukit-bukit nampak menghijau sungguh anugerah tak terkira. Satu jam perjalanan dari pos IV ini maka kami mendapati Puncak Sejati Gunung Sumbing atau disebut juga puncak Kaliangkrik. Tuhan maha baik, sesampai di puncak pemandangan begitu cerah. Tebing-tebing batu menjulang tinggi mengitari kawah gunung sumbing, Nampak di area kawah tersebut kepulan asap yang menandakan bahwa kawah gunung Sumbing masih aktif. Gagah, eksotis, tak ternilai, kami takjub.
Puncak Sejati Gunung Sumbing Jalur Magelang |
Puncak Sejati gunung Sumbing bukanlah tujuan akhir pendakian, bagi yang masih punya nyali dan tentunya tenaga maka perjalanan bisa dilanjutkan dengan masuk ke area kawah dan mendaki lagi menuju puncak Buntu atau Puncak Rajawali. Puncak Buntu merupakan puncak tertinggi di gunung Sumbing yang lebih mudah dijangkau jika pendakian dilakukan dari arah Garung Wonosobo atau arah Temanggung. Namun jika pendakian dilakukan dari arah Magelang, maka untuk menujunya pendaki harus masuk dulu ke area kawah.
Jangan pesimis dulu, justru di area kawah inilah beberapa keajaiban Tuhan bisa kita temukan. Untuk menuju kawah ini ada dua jalan. Pertama dapat ditempuh melalui jalur Watu Tunggangan, jalur ini landai dan menurun. Jalur Watu Tunggangan ini terletak sekira sepuluh menit sebelum puncak, berupa pertigaan ke arah kanan dan menurun. Jalan yang kedua yaitu melalui Watu Lawang. Watu Lawang adalah satu keajaiban Tuhan yang terdapat di puncak Sumbing ini. Bentuknya mirip dengan sebuah pintu, namun pintu tersebut tersusun secara alami membentuk pesona keindahan, sayangnya vandalisme telah mengotorinya. Jalur yang kedua ini juga terletak sebelum puncak Sejati. Perlu kehati-hatian ekstra jika ingin menuju kawah melalui Watu Lawang ini. Medannya sangat curam, mungkin kemiringannya 75 sampai 80 derajat. Jika kita masuk ke lubang watu lawang ini, maka hampir tak percaya bahwa ke bawah sana ada jalan yang bisa dilewati. Disarankan pendaki yang sudah berpengalaman jika ingin melewati jalur Watu Lawang ini.
View kawah dari puncak sejati |
Dengan penuh keyakinan, setelah puas menghirup kesegaran udara dan memuaskan dahaga mata, kami putuskan untuk menuju kawah melalui jalur watu lawang ini. Dua tangan dan dua kaki harus saling menopang, tak jarang kita harus berjalan dengan merambat agar pijakan kaki kuat tak tergelincir. Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk menuruni watu lawang ini hingga sampai di kawasan sabana.
Watu Lawang, semoga yang berbuat vandalisme di sini lekas waras |
Ujung dari Watu Lawang adalah kawasan luas dan datar yang merupakan sabana nan indah. Batu-batu besar berserakan dimana-mana, saling berhimpit dengan hijaunya sabana mampu mencipta pesona Indonesia yang luar biasa. Kanan-kiri depan-belakang adalah tebing-tebing batu curam yang tertata mencipta lukisan alam tak ternilai harganya, di kawasan sabana kawah ini kita seperti di bawa pada jaman batu yang teramat indah.
Terus berjalan menyusuri bebatuan itu, tak seberapa lama padang sabana hadir di depan kita. Sabana Roman Taji, begitulah penduduk sekitar menyebutnya, bak taman di dalam syurga. Sebuah sabana indah nan mewah yang terletak di area kawah.
Kawasan kawah sumbing sebelum sabana |
Terus berjalan menyusuri sabana jangan lupa pandangi setiap sudutnya, perjalanan dilanjutkan dengan kembali menaiki tanjakan yang tak seberapa tinggi. Bertemu kembali dengan dataran, disitulah kawah gunung Sumbing mengepulkan asap. Aroma belerang, tumpukan-tumpukan batu putih kekuningan dan gemuruh suara kawah mendidih menyajikan panorama luar biasa. Di kawasan kawah ini juga terdapat makam Kyai Makukuhan, sosok yang diyakini sebagai penyebar agama di lereng gunung Sumbing.
Sabana hijau nan cantik, gemuruh kawah dan panorama bebatuannya, belumlah selesai keajaiban di puncak gunung Sumbing ini. Satu lagi primadonanya, Segara Wedi disebutnya. Segara Wedi yang bisa diartikan sebagai Lautan Pasir, adalah kawasan berupa endapan pasir dari aliran kawah gunung Sumbing. Aliran kawah gunung Sumbing yang mengarah ke utara ini meninggalkan sedimentasi di kawasan yang lebih rendah. Pasir putih kecoklatan mengendap dan menjadikan kawasan itu bak lautan pasir. Sungguh mempesona, tidak rugi perjalanan secapek dan sesusah apapun akan terbayar disini.
Taman Surga Sabana Gunung Sumbing |
Tiga spot dalam satu kawasan puncak kawah ini benar-benar menghadirkan pengalaman yang berbeda. Sabana Roman Taji, Kawah dan Segara Wedi akan terus terngiang keindahannya meski kabut kehidupan menyelimuti segenap pikiran.
Kawah Gunung Sumbing |
Setelah puas berkeliling dan menikmati kawasan puncak kawah ini, ternyata matahari sudah meninggi. Kabut dan angin saling membalap, sebentar kabut sebentar terang. Sebenarnya masih ada satu titik lagi yang akan kami singgahi yaitu puncak Buntu atau puncak Rajawali. Untuk mencapainya dari arah kawah ini, tinggal melanjutkan perjalanan dengan menaiki tanjakan di atas area kawah. Namun siang itu kabut terus menebal, daripada bertaruh harapan, maka keputusan untuk kembali ke pos pohon tunggal adalah pilihan yang lebih masuk akal, terlebih satu kawan kami staminanya sudah mulai menurun.
Untuk kembali ke pos Pohon Tunggal maka jalan yang ditempuh dari kawah adalah melewati jalur yang satunya yaitu jalur landai atau yang disebut sebagai Watu Tunggangan. Sepertinya tidak mungkin jika kembali keatas dengan melalui jalur Watu lawang karena jika dilihat dari bahwa, jalur watu Lawang ini sangat terjal. Jadi tidak direkomendasikan, bahkan juga oleh penduduk sekitar Sumbing.
Segara Wedi |
Segara Wedi |
Benar saja, belum juga kami sampai di kawasan puncak, hujan sudah turun. Akhirnya perjalanan pulang dari puncak ke pos IV atau pos Pohon Tunggal kami lalui dengan hujan-hujanan. Perbekalan yang kami bawa waktu itu hanya peralatan untuk minum saja, sedangkan jas hujan kami tinggal di tenda. Sesampai di tenda hujan masih juga belum reda. Baju basah segera kami ganti dengan yang lebih hangat, tak lupa perut juga perlu segera dihangatkan. Siang itu menunya soto ayam. Kuahnya yang mengepulkan asap dan aroma gurihnya begitu lezat disantap saat perut sudah lapar ditemani gemerincik hujan.
Jangan Lupa Pulang, karena orang terkasih selalu menantimu
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.00. ketika hujan mulai reda. Segala peralatan dan perlengkapan dipacking kembali ke dalam carrier, tak lupa sampah-sampah dikumpulkan kedalam trashbag untuk dibawa kembali pulang. Jarum jam sudah bergeser kembali mendekati angka 16.00, perjalanan turun kami lanjutkan. Sekali lagi Tuhan Maha Baik. Sore itu gunung Sumbing hanya menyisakan rintik gerimisnya, tidak ada hujan lagi. Perjalanan turun menjadi lebih lancar. Kurang lebih empat jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke base camp kembali. Jam 19.45 badan kami kembali tergeletak di base camp.
Rumah terhangat di puncak |
Mata sudah mulai mengantuk, badan juga sepertinya tak begitu prima jika harus memacu kuda besi kembali ke Yogyakarta. Akhirnya kami meminta ijin kepada bapak dukuh untuk menginap di base camp dan melanjutkan perjalanan pulang esok harinya.
Sumbing, pesonamu selalu meninggalkan kesan. Masih ada harapan suatu saat aku kembali menjumpaimu, semoga dengan wajahmu yang lebih segar dan lebih hijau.
Read this! |
Keajaiban penuh rahasia |
Wonder Woman |
Berpaling dari matahari |
Kebahagiaan penuh cerita |
Teruslah melangkah, karena dengan melangkah berarti bergerak, dan dengan bergerak maka berarti hidup.
Sahabat Lamperan The Explorer:
Sholeh Fasthea, Khoiril Mawahib, M. Nur Fadhli, Muhammad Mustofa , Lathifah Vajarini
info untuk harga ojek ke dusun butuh sampai brp ya gan?
BalasHapusKalau dari pasar kaliangkrik sekitar 20 rb. Tp bisa berubah-ubah tergantung sopirnya.
HapusInfo via butuh, bisa ke pohon tunggal?
BalasHapusBisa. Ketiga jalur di atas bertemu di sebelum pohon tunggal.
Hapus