Gunung Andong, Si Imut yang Mempesona dan Memikat
Salam Lestari, Salam Satu Bumi, Indonesia Tanah Airku
Hi Sobat, Lamperan The Explorer kembali menyapa pembaca dengan kisah baru. Setelah pada pos sebelumnya menceritakan perjalanan menuju puncak Gunung Sumbing via jalur magelang yang berjudul Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL, pada pos kali ini Lamperan The Explorer akan kembali berkisah tentang perjalan menuju Gunung Andong, si imut yang mempesona dan memikat di kabupaten Magelang. Ok, check this out guys...
Matahari 12 April 2014 sudah menyingsing, Sahabat Lamperan The Explorer kembali mengagendakan perjalanan lagi hari ini, nanjak ke sebuah gunung di daerah Kabupaten Magelang. Andong, sebuah gunung mungil nan eksotis untuk didaki dengan ketinggiannya yang hanya 1726 MDPL.
Sebagaimana
kesepakatan pada meeting point beberapa hari sebelumnya, posko titik temu
adalah di kosan Zacky, tak jauh dari lokasi kampus. Tas carrier, ransel, maupun
body bag terlihat menempel di punggung anak-anak. Wajah-wajah penuh ekspresi,
sepertinya sedang memikirkan ketinggian, kelelahan, jauh, bahkan mungkin haus
dan lapar yang membayang. Maklum pada perjalanan ini masih banyak yang pemula
yaitu sahabat-sahabat baru Lamperan The Explorer 2014. Teruslah berfikir guys,
karena dengan berfikir maka kamu ada, begitulah kata Rene Descartes.
10.30 Wib,
ban belakang mulai bergeliat, berputar sesuai pacuan gas. Jogja kembali kami tinggalkan
untuk menuju Base Camp pendakian gunung Andong, yaitu Dusun Sawit, Desa Girirejo
Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
Selalu ada kisah dalam setiap perjalanan, seperti biasanya, pada umumnya, sudah lumrah, dan begitulah. Perjalanan ini harus diwarnai dengan tragedi ban motor, bukan bocor tapi lebih parah lagi yaitu sobek. Setelah pom bensin Jombor Fery si Pelobi minta ijin untuk mengganti bannya terlebih dahulu, yang mungkin memang ia sengaja berniat menggantinya hari itu saja agar penggantian ban itu menjadi salah satu dari bumbu penyedap perjalanan, dan tentunya masuk dalam kisah ini JJJ, ya sudah demi keselamatan bersama, akhirnya kami menunggu sampai sekitar jam 12.00 Wib.
Matahari semakin menyengat, memacu kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Ban belakang kembali berputar penuh semangat, belum juga sampai di kota Magelang tepatnya di daerah Muntilan hujan sudah mulai turun, berhenti sejenak, Caping Basunodo Gatutkaca era modern dikeluarkan untuk melindungi badan dari terpaan hujan. Base Camp Andong ini terletak di jalan Magelang-Kopeng (Salatatiga), oleh karena itu dari arah Jogja kami lurus ke kota Magelang. Di Magelang kami mengambil arah kanan (Semarang) melewati By Pass Soekarno Hatta. Setelah melewati terminal bis Tidar Magelang maka terdapat pertigaan, lurus menuju semarang dan ke kanan (jalan menurun) merupakan jalur ke Salatiga. Sampai di sini hujan sudah mulai reda sehingga perjalanan bisa kami tempuh dengan lancar.
Tepat pukul 13.30 Wib kami sudah sampai di depan pasar Ngablak Magelang. Rute perjalanan ke Andong adalah belok kiri pada pertigaan pasar ini, pada pasar ini terdapat gapura yang cukup tinggi sebagai penanda pertigaannya, jadi tidak perlu khawatir tersesat. Hujan deras tiba-tiba bergemuruh, gema Adzan Dzuhur pun sudah berkumandang satu setengah jam yang lalu, kami akhirnya mencari masjid, untuk istirahat, shalat dan menunggu hujan reda.
Pukul 14.30 Wib hujan baru menandakan kalau mau memberi kesempatan untuk meneruskan perjalanan. Tas kembali kami angkat, bukannya meneruskan perjalanan ke base camp tapi justru menuju warung makan, semangkok soto panas, mie ayam pedas, dan bakso urat sangat nikmat siang itu, usus dalam perut sudah goyang itik sedari tadi minta diisi kenikmatan duniawi. Pukul 15.15 perjalanan kembali diteruskan menuju base camp. Akhirnya gunung andong menampakkan wujudnya, jalan ke base camp menjadi semakin mudah ditemukan. Tak butuh waktu lama menujunya, pukul 15.30 kami sudah sampai di dusun Sawit. Tidak sesuai gambaran kami sebelumnya berdasarkan informasi dari para blogger bahwa di kampung ini belum ada base camp resmi, sehingga kami masih berfikir untuk menitipkan kuda besi di rumah pak dukuh. Namun ternyata sekarang sudah ada base camp resminya, sepertinya rumah itu adalah rumah penduduk yang sengaja difugsikan menjadi base camp. Segera kami mendaftar, memakirkan motor dan packing kembali. Untuk pendaftaran sebesar Rp 3.000,00 per orang dan parkir motor Rp 2.000,00 per motor, sangat terjangkau tentunya.
Perjalanan sesungguhnya sedang dimulai
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.15 Wib, tas sudah berada di punggungg masing-masing, buat lingkaran dan berdoa bersama semoga perjalanan lancar. Kami mengira hanya kamilah sahabat lamperan The Explorer yang akan menuju puncak Andong, karena parkiran motor di base camp hanya dari kelompok kami. Namun disusul kemudian empat pendaki yang datang setelah kami. Rintik-rintik hujan kembali menemani langkah kaki, namun tak begitu deras jadi tidak menjadi masalah berarti. Lima belas pasang kaki mulai melangkah menyusuri jalan setapak di bawah Andong yang puncaknya begitu mempesona, nampak seperti punggung seekor sapi atau juga punggung seekor unta.
Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Oyil berkaffah Khoiril Mawahib, Fery Ade Saputra si pelobi, Gembul Anggi Jatmiko, Siri-siri Syarif Ahmad Zacky, Si Rahasia M. Nur Fadhli, Bos belum jadi Arif Yuswanto, Annisa Chabibah, Vina, Aprilia, Mustofa, Ridwan, Rizka, Rini, dan Ninda, melangkahkan kaki untuk puncak Andong yang di depan mata. Bismillah...
Dari dusun Sawit ini gunung Andong tampak sangat dekat dan gagah perkasa, namun bila dibandingkan dengan gunung-gemunung disekitarnya seperti Merapi dan Merbabu, Andong tampaklah imut-imut yang rupawan. Kalau dibandingkan dengan pendakian gunung-gunung tinggi seperti Mt Sumbing, Mt Sindoro, Mt Merbabu dan sebagainya, dari Base camp ini rasanya kami sudah seperti di pos kelima atau pos terakhir menuju puncak, sehingga tinggal mencapai puncaknya saja. Namun begitu kami tetap harus waspada dan hati-hati, jangan sombong dan merendahkan alam. Karena alam lah tempat kita hidup, jangan sekali-kali meremehkan eksistensinya.
Jalur pertama pendakian Andong melewati perkebunan atau ladang-ladang penduduk yang berupa tanaman sayur-mayur, nampak segar sekali tanaman-tanaman itu. Hanya sekitar 10 menit jalur sudah berupa kawasan hutan pinus atau Casuarina equisetifolia. Trek yang ditempuh hampir semuanya lumayan terjal, namun tidak perlu khawatir, jalan setapak sudah dibangun oleh warga sekitar dengan bebatuan. Sehingga pada umumnya jalan sudah berupa anak-anak tangga berbatu, beberapa juga masih berupa tanah khususnya jalur yang agak landai.
Dua puluh sampai tiga puluh menit kurang lebih perjalanan sudah menemukan Pos I, kalau ga salah namanya Watu Pocong, lumayan ada tempat untuk istirahat, mau buat tenda juga boleh. Satu jam berlalu melewati hutan pinus, sampailah kami pada kawasan yang lebih banyak ditumbuhi rerumputan, kayu-kayu yang ada hanya berupa kayu-kayu kecil tak lebih dari dua meter, dan akhirnya pos dua (watu wayang) sudah di depan langkah. Sebelum pos II ini ada sumber mata air yang sangat segar, kamipun mencicipinya, menelannya beberap teguk, segar dan dinginnya melebihi air mineral yang kami bawa. Sampai di area ini cuaca sedang lumayan cerah, Gunung Merapi nampak sembunyi di balik punggung Merbabu, di kaki merbabu nampak kampung-kampung yang mulai berkilatan lampu-lampunya, Telomoyo juga tampak sedang memanggil kuda besi kami untuk menapakinya esok hari. Hadap kiri sejenak, hirup nafas dalam-dalam, keluarkan dan Subhanallah Kau berikan segala keindahan ini.
Baca juga kisah perjalanan lainnya:
Meraih puncak tanpa mendaki di puncak Suroloyo
Eksotisme Tersembunyi Curug Silawe Magelang
Langkah terus mengayunkan harapan, beberapa sahabat sudah mulai terengah-engah nafasnya, namun pemandangan yang luar biasa itu mampu menghilangkan penat dan mengencangkan urat syaraf yang sudah kendor, terus bergerak, puncak sebentar lagi.
Adzan Magrib bergema dari segala penjuru, bersama rintik hujan dan gumpalan kabut yang kembali turun. Perjalanan sudah berlangsung kurang lebih satu setengah jam, kami sampai di pertigaan. Lurus menuju makam Kyai Abdul Faqih dan belok kanan jalur menuju puncak. Maka ayunan langkah pun menuju sebelah kanan. Puncak I atau puncak utama sudah nampak jelas, mata kami berlomba dengan kabut yang bersliweran di atasnya untuk terus dapat melihat puncak itu. Sepuluh menit dari pertigaan tadi kami sudah mendapatkan area datar dan cukup luas untuk mendirikan tenda, 15 tenda pun bisa didirikan di area ini asal didirikan dengan rapi. Puncak I sebenarnya sangat dekat, pastilah tidak ada lima menit mencapainya. Namun kami lebih memilih tempat itu untuk mendirikan tenda dikarenakan tempatnya yang luas, selain itu di puncak satu sudah nampak beberapa sorotan lampu senter yang berarti sudah ada pendaki yang mendahului kami, mungkin lewat jalur lain atau mereka tidak membawa kendaaran sendiri sehingga di base camp tadi tidak ada kendaraannya. Kalaupun kami kesana nanti malah repot kalau tidak kebagian tempat untuk mendirikan tenda.
Lima sahabat kami masih tertinggal di belakang, ketika kami bersepuluh siap-siap mendirikan tenda. Kami biarkan mereka berjalan pelan karena salah satu dari mereka sedang tidak begitu fit kesehatannya sehingga yang lain terus menyemangatinya. Kami yang sudah sampai duluan segera mempersiapkan frame, pasak dan menggelar tendanya. Tenda satu belum juga berdiri ternyata tim yang belakang sudah sampai juga, segeralah bekerjasama mendirikan tenda. Sekitar setengah jam yang kami perlukan untuk mendirikan tiga tenda, maklum tidak semuanya terampil jadi tenda didirikan satu persatu. Satu tenda untuk putra ahli semprong (Smoker), satu lagi untuk putra yang No Smoking, dan satu lagi tenda terakhir untuk cewek baik smoker maupun non smoker, tapi sepertinya tidak ada yang ahli semprong di antara cewek-cewek itu.
Sekitar pukul 19.00 Wib tenda sudah berdiri semua, carrier dan bawaan lainya dirapikan ke dalam tenda. Kompor dan panci mulai disiapkan, logistik dikeluarkan. Gulai ayam, mie instan, nasi yang tadi beli dulu di pasar Ngablak, bubur instan, kopi, susu, cemilan dari yang manis maupun asin, dan semuanya yang masih bisa keluar dari kantong ajaib Doraemon kami masing-masing terus menggunung. Sebagian mulai mengganti bajunya yang hawa dinginnya sudah mulai menusuk ke dalam badan akibat rembesan air hujan maupun keringat selama perjalanan, sebagian lagi menjadi chef dadakan untuk memasak air, ayam dan makanan lainnya. Lagian apa susahnya masak, kecuali bagi yang hanya ingin makan saja.
Nasi gulai ayam sudah terhidang, susu dan kopi panas mengepul dari gelas, cleguk, nyammm-nyammm, alangkah nikmatnya makan bersama malam itu, ditemani gerimis yang semakin menipis kembali, kami merasakan nikmatnya makanan dan minuman di atas Gunung Andong, yang bikin kami terbengong-bengong mensyukuri kenikmatan itu.
Perut sudah terisi, badan sudah hangat kembali, semua menuju tenda masing-masing untuk melanjutkan aktifitasnya. Ada yang shalat, ada yang mulai ngegosip, ada yang menceritakan perjalanan naik tadi padahal tadi jalannya juga bareng, ada juga yang menggelar kartu pokernya, dan lebih banyaknya adalah menambah seduhan kopi dan susunya. Malam begitu istimewa, jos gandos, maknyusss dan luar biasa.
Jarum jam sudah berpindah ke angka 21.00 Wib, kami kira hanya tiga tenda kami yang akan bermalam di situ, ternyata rombongan pendaki lain mulai berdatangan. Sampai jam 02.00 dini hari atau bahkan lebih rombongan pendaki silih berganti berdatangan, ada yang terus melanjutkan perjalanan menuju puncak ada juga yang ikut mendirikan tenda di kanan kiri kami. Andong sangat ramai malam itu, kasihan para binatang dan tetumbuhan yang terganggu oleh kehadiran kami, I’m sorry guys, semoga kalian damai disana.
Malam teruslah malah, sesekali langit berbaik hati mengambil kabutnya dari pandangan kami, tersibaklah keindahannya. Di jauh sana Sumbing dan Sindoro berdiri berdampingan, begitupun juga Merapi dan Merbabu yang terus menagih untuk kembali dikunjungi, Gunung Ungaran tak mau ketinggalan mengguncang mata, kampung-kampung dan kota-kota dengan lampu dan kuda-kuda besinya nampak jelas menyilaukan mata. Indahnya ciptaan-Mu ya Allah, terimaksih atas kenikmatan ini, disini adalah keindahan dunia yang sejatinya.
Malam
teruslah malam, istirahatkan badan sejenak untuk hari esok yang masih
berlanjut.
Matahari 13 April 2014 belum nampak, mata terkesiap, Adzan shubuh sudah menggema, ayo shalat dua rokaat ditunaikan, tetap dengan tayamum.
Di ufuk timur
di sebelah jauh Gunung Lawu yang terlihat biru, sepertinya matahari agak malu
di balik kabut jingganya, tapi itupun sudah sangat luar biasa, sun rise nampak
bergeliat dari Puncak Andong ini. “Bangun-bangun, fajar sudah mulai
menyingsing, ayo sholat shubuh”. Menjumpai-Nya dari puncak gunung selalu
membawa kenikmatan tersendiri, di masjid terbuka yang alasnya adalah bumi-Nya
dan atapnya adalah langit-Nya, hembusan angin dan rintik yang belum juga reda menambah
pesona kekhusyukan.
Pagi itu begitu ramai, ternyata pendaki yang datang larut
malam begitu banyaknya. Semua mulai bergeliat, kebanyakan dari mereka ingin segera
memasang badan di depan semburat cahaya pagi itu, “magifo” istilah yang sangat
pas untuk mereka, mahasiswa gila foto. Setidaknya sebutan itu tidak meng-include-kan saya di dalamnya, because I’m not one of them, bukankah begitu
om oyil?.
Agenda pagi
itu adalah menuju puncak utama dan puncak kedua gunung Andong yang tinggal
beberapa langkah lagi sudah terlihat. Tuhan sangat murah dengan cahayanya, pagi
mulai beranjak cerah. Pukul 06.15, setelah secangkir Jahe Susu diseduh, setelah
mata dikucek-kucek, setelah bedak dipoleskan pada wajah-wajah, setelah raut harapan
kembali berkobar, perjalanan dilanjutkan. Nampak puncak utama begitu gagah,
memanggil dan menyemangati untuk segera didatangi. Dari lokasi tenda ke puncak
utama ini sangat dekat hanya kurang lebih lima menit, kalau kita tidak bergonta-ganti
pose dulu untuk berfoto ria. Tapi kenyataannya? Ya begitulah anda juga begitu pastinya.
Rute menuju puncak utama hanya berupa tanjakan yang tidak terlalu terjal
sehingga mudah dilewati.
Beberapa tenda
terpasak pada puncak utama, sedikit menyapa mereka dengan aroma senyum yang
sama, ada yang dari magelang, jogja, semarang, salatiga dan sebagainya. Mereka mungkin
para pendaki yang tadi malam berdatangan dan langsung menuju puncak untuk
bermalam. Dari tempat tertinggi di gunung Andong ini pemandangan sangat
menakjubkan, gunung-gemunung mengepung dari segala ujung. Aroma pagi yang
menggelora, menggembirakan asa yang akhirnya terurai bersama matahari pagi.
Selamat hari baik sobat, Tuhan mengasihi kita dengan bergununug-gunung nikmat. Yuk
ambil pose lagi, baterainnya masih cukup kok.
Teruslah melangkahkan kakimu dan raihlah jalan depan yang menghadangmu. Geger sapi (punggung sapi, bahasa jawa), ini dia yang spesial, istimewa dan super tentunya. Sebenarnya hampir seperti di Merbabu, tapi menurut saya lebih istimewa di Andong ini, tepatnya lebih cepat membuat jantung untuk senam. Geger sapi yang merupakan rute dari puncak utama menuju puncak kedua ini berupa jalan setapak (benar-benar setapak) hanya sekitar 40 cm dengan kanan kiri berupa jurang curam dan dalam. Rute jalan setapak yang pertama berupa turunan curam, kaki harus benar-benar mampu menjaga keseimbangan tubuh. Sekiranya khawatir, ngesot (jalan sambil jongkok) adalah pilihan terbaiknya, agar kengerian terhadap jurang di kanan-kiri sedikit berkurang dibandingkan bila jalan berdiri. Tapi kalau kesimbangan tubuh anda stabil tentu nikmat jalan dengan berdiri, dan rasakan sensasi hembusan angin pagi yang sepoi-sepoi membelai tubuh yang tak terjaga.
Turunan terus berupa jalan turun, belum ada tanjakan tentunya, nanti berubah namanya. Setelah berjalan menurun kita akan mendapatkan jalan datar. Geger sapi datar ini sudah lumayan lebar, sehingga jantung sudah tidak begitu deg-deg-ser. Di depannya nampak tanjakan menuju puncak dua, ayo langkah dipercepat agar kita segera di sana. Balik kanan grak!, Pada rute ini satu gunung lagi menghiasi langit, selain Telomoyo, Lawu, Merbabu, Merapi, Ungaran, Sumbing dan Sindoro, ternyata di kejauhan sana nampak Puncak gunung yang sedang mengepulkan asap. Gunung itu nampak di tengah-tengah sebelah belakang antara gunung Sumbing dan Sindoro. Tentu warnanya biru, tak ubahnya guru TK yang mengajari bahwa gunung itu warnanya biru. Padahal ketika kita datangi tidak ada gunung yang warnanya biru, kebanyakan hijau bukan? Ya karena itu warna daun-daun dan rumputnya. Manusia memang selalu mempunyai keterbatasan. Kembali ke gunung yang sedang mengepulkan asapnya itu, gunung apakah itu? Gunung Slamet, sepertinya jawaban yang tepat, Sebuah gunung berapi dengan puncaknya yang tertinggi kedua di pulau Jawa.
Nafas terus
dihirup dan dihembuskan lagi, puncak kedua Andong ditapaki. Area puncak kedua
juga memungkinkan untuk mendirikan beberapa tenda, namun hari itu tidak ada ada
tenda yang berdiri di sana. Kemungkinan besar, semalam tidak ada pendaki yang berani
untuk melanjutkan perjalanan di geger sapi, karena faktor gelap dan licin, dan
itu hal bagus bukan? Atau mungkin juga ketika kita samapai sana, mereka sudah
packing. Naik gunung bukan ajang adu kekuatan, keselamatan jauh lebih utama
guys, karena keluargamu selalu menanti di rumah.
Kamera jeprat-jepret, senyum menyungging ke kanan dan ke kiri, tangan melambai, kaki ngangkang, gelorakan semangatmu, mumpung batre kamera masih tersedia. Setelah puas berfoto ria, duduk diam sambil mengamati pemandangan di sekeliling adalah suasana yang sangat nyaman sekaligus menghangatkan. Tuhan begitu tinggi nilai seninya, semuanya dibuat serba indah. Lekuk-lekuk bukit, barisan gunung-gemunung, tinggi rendahnya pepohonan, menjulangnya batu, curamnya lembah, dan aroma itu semua, adalah karya seni yang tak ternilai, dan disinilah manusia dihidupkan untuk tetap menjadi penjaga dan pemelihara bagi kehidupan di sekitarnya.
Baca juga kisah perjalanan lainnya:
Menggapai Kembali Atap Ketiga Pulau Jawa; Gunung Sumbing 3371 MDPL
Menapaki Debu Lahar Puncak Merapi
Matahari
beranjak naik, saatnya kembali ke tenda. Kembali menggelar kompor beserta
perangkat dan isinya untuk menyempurnakan pagi dengan sarapan. Untuk perjalanan
kembali ke tenda ini jalur geger sapi menjadi mudah dilalui karena rute menjadi
sebaliknya, turunan menjadi tanjakan, bolehlah tangan bergandengan pada setiap
tangkai pepohonan. Sesampai di tenda, segera membuat menu sarapan, rendang padang,
cumi asam manis, udang galah bakar madu, sate maranggi, soto babat, gudeg, opor
ayam, dan kambing guling. Namun itu semua cukup diwakili dengan semangkok mie
instan yang dicampur gulai ayam sisa semalam, rasanya tak jauh beda kok.
Logistik sudah masuk perut, saatnya packing tenda. Sampah dipungut dimasukin ke kantong plastik dan buanglah di tempat sampah. Tapi ingat! di gunung tidak pernah ada tempat sampah, jadi bawalah sampah turun menuju tempat sampah yang sebenarnya. Perjalanan turun dimulai sekitar pukul 09.00 Wib, dan kurang lebih satu jam berikutnya sudah sampai base camp dusun sawit. Rebahkan badan, istirahat sebentar, mandi kalau perlu. Telomoyo sudah menanti.
Ceritanya sih, mau Double Summit Attack
Motor
dikeluarkan dari parkiran basecamp, pamitan dulu sama mas-masnya penjaga base
camp yang hari itu berseragam batik. Seragam itu bukan seragam penjaga base
camp, tapi karena di kampung Sawit ada yang sedang hajatan menikah, makanya
mereka berseragam Batik. Perjalanan masih berlanjut, nonton tower di puncak
Telomoyo. Jarak gunung Telomoyo dan Andong sangat dekat, pakai motor hanya
sekitar 10 menit sudah sampai di base camp Telomoyo. Bayar tiket, motor dipacu
terus menuju puncak. Kalau mau ke puncak Telomoyo namanya bukan mendaki, karena
motor bisa sampai atas. Tapi sayang, ternyata mendekati puncak jalurnya
tertutup longsor, singkat cerita kita tidak bisa mencapai puncak. Masalahnya adalah
kenapa penjaga tiket tadi tidak bilang bahwa jalurnya tertutup? “Ya kalau
bilang mereka tidak dapat uang dong” begitulah jawabannya ternyata. Di gunung
Telomoyo ini tidak banyak hal yang bisa kita lihat, kebetulan lagi berkabut,
kecuali banyaknya pasangan muda-mudi yang sedang memadu kasih di sepanjang
jalan. Banyak juga motor yang terpakir sendirian di tepi jalan, entah
pemiliknya lagi kemana dan lagi ngapain?, sudah ga usah dipikirkan, itu urusan
mereka.
Kekecewaan melanda, tapi itulah hidup, penuh misteri. Ban belakang motor kembali mendorong motor untuk segera turun menyambut adzan yang sudah sedari tadi bergema. Assalamu’alaikum Warohmatulloh, shalat selesai, tas diangkat lagi, motor dipacu lagi menuju rumah makan. Perut sudah minta jatah siangnya. Mampirlah kami di rumah makan SS di pasar Ngablak. Banyak menu yang tersedia di rumah makan ini, dan harganya itu loh, murah banget, recommended lah.
Kabut semakin tebal, pertanda hujan akan segera turun, perjalanan dilanjutkan. Jogja sudah menanti untuk kembali disinggahi.
Untuk sekedar mencairkan keringat tubuh, atau berlatih mendaki, Andong sangat tepat.
Andong,
sebuah gunung imut-imut yang mempesona dan memikat.
wwaww indah sekali anugerah tuhan yang tak ternilai ...
BalasHapusberupa alam yang menjadikan kita hidup ..
semoga keindahannya selalu terjaga..
aamiin, agenda nanjak berikutnya ikut lagi ya...
BalasHapusbetuuul, mereka MAGIFO, Kita (Ki juru pandu dan saya) bukan termasuk........
BalasHapusBuat admin, ini ada tambahan,,,,
sejak dari pos I, rombongan sudah terpisah jarak yang lumayan, karena salah satu rombongan ada yang kurang fit. Dirombongan yang tertinggal ini, ada 5 orang yaitu oyil_5225, Zaky, Anggi, Arif dan Afrilia. Rombongan ini terus disemangati oleh oyil_5225 yang sepertinya membawa tas paling berat. Langkah kaki menuju pos II. Meskipun sudah disemangati dan diberi arahan, ssssssst..... ada yang hampir mengibarkan bendera putih "aku turun saja mas". Duerrrrr, kata yang mencengankan. Setelah dibujuk sana bujuk sini, "nanti dibeliin es krim di puncak deh" akhirnya mau melangkahkan kakinya lagi. Beberapa langkah sudah terlalui, istirahat lagi. Nampaknya masih pada kurang semangat. Tas Carrier dilepas, kelurakan kamera dan jajanan, tak lupa madu juga dikeluarkan. Alhamdulillah yang kurang fit tadi mau nyruput madunya. Setelah berfoto-foto (sebagai obat semangat), langkah kaki terus menuju pos II menyusul rombongan yang di depan.
Memotivasi sekali😍 jadi pengen mendaki😎
BalasHapusHarus :)
Hapus