Menggapai Kembali Atap Ketiga Pulau Jawa; Gunung Sumbing 3371 MDPL

Instagram, hanya karena media sosial yang telah diakuisisi oleh facebook inilah yang menyebabkan kisah ini bisa tertulis. Bermula dari sahabat Fadhli yang mention dari akun unexpected_sumbing bahwa base camp gunung Sumbing via dusun Butuh Kaliangkrik Magelang sedang mengadakan kegiatan penanaman pohon dengan tagline "satu pendaki satu pohon sejuta harapan", maka Lamperan The Explorer tergerak untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Satu harapan sederhana, semoga pohon yang kami tanam bisa ikut menghijaukan kembali gunung Sumbing yang pada musim kemarau 2015 kemarin kebakaran.

Selasa 19 Januari 2016. Kami menapakkan langkah kembali, setelah sebelumnya Sumbing kami singgahi pada perjalanan "Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL"

Gunung Sumbing
Pagi itu jalanan Jogja Magelang ramai lancar. Tiga kuda besi kami beradu kecepatan dengan ribuan kendaraan lain dengan tujuan yang berbeda-beda. Adakah diantara para pengendara itu yang fikirannya tidak terbebani dengan urusan keduniaan?. Setelah kurang lebih 1 jam lewat 45 menit, akhirnya kami sampai di base camp Butuh atau tepatnya rumah bapak dukuh setempat yang sekaligus dijadikan sebagai base camp ini.

Cuaca di base camp sangat berbeda dengan cuaca sepanjang perjalanan. Kabut tipis tertiup angin berkelindan hingga menciptakan gumpalan-gumpalan kabut yang lebih tebal, hujan turun, gemericiknya ibarat simponi pengusir lelah. Waktu yang sangat tepat untuk sekedar aklimatisasi sementara, repacking dan tentunya beramah tamah dengan bapak dukuh yang memang ramah, ala orang Jawa pada umumnya yang begitu riang pada tetamunya. Pun penduduk sekitar yang begitu ramah menyapa.

Jarum jam tak pernah berhenti berdetak -ya iyalah baterainya belum habis-, melaju dan mengantarkan kami mendekati jam sebelas siang. Hujan masih menyisakan buliran-buliran kecil airnya. Setelah mendaftar dan mendapatkan saran tentang cara penanaman pohonnya, tas carrier segera kami angkat di punggung. Beberapa kawan pendaki yang tadinya tiba lebih dulu dari kami juga sudah mulai berangkat, kami tak seberapa menit di belakangnya. Dari catatan yang ada pada buku tamu, hanya ada tujuh pendaki yang berada di atas dengan melalui jalur Butuh ini, dan kemungkinan mereka hari itu turun karena pendakian sudah dimulai sehari sebelumnya. Artinya nanti sepanjang perjalanan akan sepi dan mengasyikkan tentunya.

Bagi para pendaki yang ingin menikmati tangguhnya gunung Sumbing, jalur Butuh Kaliangkrik ini sangat direkomendasikan. Selain medannya sangat mengasyikkan, jalur ini masih relatif sepi dan juga bersih. Base camp Butuh ini terletak di Kabupaten Magelang Jawa tengah, satu diantara tiga jalur yang bisa dilalui oleh para pendaki gunung Sumbing melalui kabupaten Magelang, nantinya tiga jalur ini akan bermuara pada titik yang sama.

gunung sumbing

Berikut tiga jalur pendakian gunung Sumbing via Magelang:


1. Jalur Dusun BUTUH, Desa temanggung, Kec. Kaliangkrik, Kab. Magelang

Rute: Kota Magelang ->Pasar Kaliangkrik ->Dusun Butuh

Cara tempuh dusun Butuh dengan transportasi umum:
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jalur Kaliangkrik, turun di pasar Kaliangkrik. Dari pasar ini sudah tidak ada angkutan umum lagi, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Butuh bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Butuh.

Cara tempuh dusun Butuh dengan transportasi pribadi:
Dari Arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, pertigaan Pabelan atau pertigaan menuju Borobudur sebelum Kota Magelang ambil arah kiri menuju arah Borobudur-Purworejo. Lurus melewati Borobudur menuju arah Purworejo, setelah melewati pasar Krasak Salaman lihat penunjuk arah ke Kaliangkrik / Curug Silawe. Ambil arah belok kanan mengikuti rute curug Silawe tersebut hingga sampai Desa Ngawonggo, satu kampung sebelum pasar Kaliangkrik. Ambil arah belok kiri hingga menemukan pertigaan ke kanan di desa Temanggung dengan plang arah Dusun Butuh. Kemudian ambil kanan mengikuti petunjuk desa Butuh dan terus melaju hingga ujung dari jalan tersebut, disitulah dusun Butuh Berada. Apabila ragu bisa tanya penduduk setempat.

Dari Arah Semarang, ambil jalur Semarang Magelang. Setelah sampai di Kota Magelang ambil arah kanan atau ikuti plang arah Kaliangkrik, sampai di pasar Kaliangkrik masih lurus hingga ketemu desa Ngawonggo, kemudian lanjutkan seperti jalur dari Jogja di atas.

Keterangan: Jalur Butuh ini cukup mengayikkan karena perpaduan antara jalur menanjak dan jalur landai dengan melewati beberapa sungai yang indah.

2. Jalur Dusun MANGLI, Desa Kebonlegi, Kec. Kaliangkrik, Kab. Magelang

Rute: Rute: Kota Magelang ->Kec Bandongan ->Pasar Kalegen ->Dusun Mangli

Cara tempuh dusun Mangli dengan transportasi umum:
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jurusan Bandongan, turun di dipertigaan Desa Tonoboyo. Dari pertigaan Tonoboyo dilanjutkan dengan naik angkutan desa dan turun di pasar Kalegen. Dari pasar Kalegen ini sudah tidak ada angkutan umum lagi kecuali ojek, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Mangli bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Mangli.

Cara tempuh dusun Mangli dengan transportasi pribadi:
Dari arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, setelah ketemu dengan alun-alun kota Magelang ambil arah kiri lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik. Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen masih lurus dan langsung menuju Dusun Mangli. Apabila ragu lebih baik tanya warga.

Dari arah semarang, ambil jalur Semarang – Magelang, setelah sampai Kota Magelang ambil arah kanan lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik, Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen masih lurus dan langsung menuju Dusun Mangli. Apabila ragu lebih baik tanya warga.

Keterangan: Di Dusun mangli ini base camp resmi pendakian bisa ijin Kadus setempat. Kondisi jalur lumayan terjal dan akan bertemu dengan jalur butuh pada pertigaan menjelang Pos III.

3. Jalur Dusun PETUNG, Desa Ngemplak, Kec. Windusari, Kab Magelang

Rute: Kota Magelang - Kec Bandongan - Pasar Kalegen - Dusun Petung

Cara tempuh dusun Petung dengan transportasi umum: 
Dari arah Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan kota lainnya ambil bis jurusan Magelang dan turun di terminal Magelang. Dari terminal dilanjut dengan bis tiga perempat jurusan Bandongan, turun di dipertigaan Desa Tonoboyo. Dari pertigaan Tonoboyo dilanjutkan dengan naik angkutan desa dan turun di pasar Kalegen. Dari pasar Kalegen ini sudah tidak ada angkutan umum lagi kecuali ojek, sehingga untuk melanjutkan perjalanan sampai dusun Petung bisa dilakukan dengan menyewa ojek atau mobil pick up dan minta langsung diantarkan ke dusun Petung.

Cara tempuh dusun Petung dengan transportasi pribadi:
Dari arah Yogyakarta, ambil jalur Yogyakarta – Magelang, setelah ketemu dengan alun-alun kota Magelang ambil arah kiri lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik. Lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen ambil kanan dan langsung menuju Dusun petung. Apabila ragu lebih baik tanya warga.

Dari arah semarang, ambil jalur Semarang – Magelang, setelah sampai Kota Magelang ambil arah kanan lihat penunjuk arah Bandongan/Kaliangkrik, lurus terus sampai ketemu Pasar Kalegen. Pertigaan setelah pasar Kalegen ambil kanan dan langsung menuju Dusun petung. Apabila ragu lebih baik tanya warga.

Keterangan: Untuk menempuh dusun Petung dan dusun Mangli ini memang sama arahnya hingga pasar Kalegen. Yang membedakan adalah ketika sudah sampai pada pertigaan pasar Kalegen, kalau ingin ke dusun Mangli maka mengambil jalan lurus, sedangkan jika ingin ke dusun Petung maka ambil arah kanan. Di dusun Petung ini pendakian bisa minta ijin kepada kepala dukuh setempat. Jalur pendakian cukup terjal, cocok untuk penyuka tantangan. Jalur Petung akan bertemu dengan Jalur Butuh pada pertengahan antara Pos III dan Pos IV.

Basecamp Gunung Sumbing Via Butuh Kaliangkrik Magelang (Bersama Bp. Dukuh Butuh)

Lamperan The Explorer Melangkah.....

Base Camp – Pos I, Seribu Tanjakan Satu Keyakinan.

Perjalanan sesunggunya dimulai. Tas karir mulai menghangatkan punggung, halus desiran angin tetap saja menelusup pori-pori, hujan masih enggan beranjak pergi. Kami berlima melangkah penuh keyakinan, kali ini kami semua harus sampai puncak. Pengalaman pada pendakian awal tahun 2014 kemarin semoga jangan terulang lagi. Waktu itu cuaca cukup ekstrim, beberapa teman kalah melawan lelahnya sendiri hingga tidak bisa mencapai puncak. Kisah pendakian gunung Sumbing waktu kami tulis dalam “Mengurai harapan pada atap ketiga pulau Jawa, Mt. Sumbing 3.371 MDPL”.

Medan dari Base camp menuju Pos I merupakan tanjakan yang lumayan terjal. Setiap pendaki sudah diuji nyalinya di sini. Bila stamina tidak fit, rute ini sudah cukup membuat nafas terengah-engah. Menantang keyakinan, sanggupkah kita mencapai gagahnya puncak Sumbing. Medan menuju pos I ini berupa ladang penduduk desa Butuh. Berbagai tanaman sayuran nampak menghijau, disinilah warga Butuh menaruh harapan tentang masa depan mereka.

puncak sumbing
Pos I, Ujung ladang penduduk

Kurang lebih satu setengah jam perjalanan Pos I sudah terlihat. Pos I terletak di ujung ladang penduduk, di pos ini bisa mendirikan satu atau dua tenda saja karena tanah lapangnya tidak begitu luas. Sampai di titik ini, perut kami sudah mulai menyanyikan lagu siang hari. Namun kami lebih memilih tempat yang lebih rimbun, agar nuansa sudah benar-benar terasa di gunung bukan lagi di lading sayuran.

Berjalan beberapa meter dari Pos I ini maka kita akan mulai memasuki vegetasi hutan pinus yang penuh aroma kesegaran. Hirup dulu dalam-dalam aroma khasnya, jauh lebih segar dan sehat daripada aroma terapi yang ditawarkan di mal dan supermarket. Gayung bersambut, tanah yang lumayan datar dengan pepohonannya yang begitu rimbun kami dapatkan. Makan siang kami gelar, gulai ayam dipanaskan, bersama sebungkus nasi putih nanpulen, makan siang yang begitu nikmat dan sempurna.

Pos I – Pos II, Tanjakan Virus Tanpa Putus.

Tubuh sudah mulai hangat kembali, kurang lebih tiga puluh menit kami menikmati perbekalan, saatnya perjalanan dilanjutkan. Tanjakan yang tak terlihat ujungnya menantang di depan kami, Tanjakan Virus kami menamainya. Memang seperti virus, anak tangganya terus menjalar ke atas tanpa ujung yang terlihat, sangat menggembirakan. Medan dari pos I ke Pos II ini masih berupa tanjakan berbatu sebagaimana medan sebelum pos I tadi. Namun dari segi kemiringan, medan ini sepertinya lebih terjal sehingga lebih membutuhkan tenaga ekstra.

Tanjakan menuju pos II
Serasa ada yang aneh dan berbeda ketika kami melewati medan ini. Hutan yang dulunya lebat kenapa kini nampak gersang. Rerumputan juga tumbuh jarang-jarang, hanya beberapa tunas pakis saja yang nampaknya sudah mulai subur disiram hujan. Sesak rasanya melihat pemandangan ini. Kebakaran yang terjadi pada musim kemarau tahun 2015 kemarin benar-benar menyisakan keprihatinan. Sumbing yang dua tahun lalu begitu hijau, kini hampir sepanjang perjalanan yang kami saksikan hanya sisa-sia kayu yang sudah kecoklatan, bahkan gosong berupa arang.

Kurang lebih satu setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan dari pos I ke Pos II ini. Di pos II ini bisa juga mendirikan tenda, sekitar tiga tenda bisa didirikan di lokasi yang sudah disiapkan oleh warga setempat. Kawan pendaki Tangerang yang tadi berangkat duluan ternyata sedang menikmati makan siangnya di pos II ini, kami hanya sekedar menghela nafas dan meneguk beberapa air saja. Setelah berpamitan dan ngobrol-ngobrol sebentar dengan kawan tangerang tadi, perjalanan kami lanjutkan.

Pos II – Pos III, saatnya berlari dan mandi di sungai.

Pos II berada di ujung tanjakan, sehingga setelah melewati pos ini maka saatnya kita memanjakan kaki dan punggung yang terus terdesak oleh tas carrier. Pos II menuju Pos III Gunung Sumbing Jalur Butuh ini sungguh sangat mengasyikkan. Medannya berupa jalanan datar dengan membelah bukit-bukit. Untuk menuju pos III ini kita akan melewati sungai dengan pemandangan yang menakjubkan, total ada delapan sungai yang harus kita lewati untuk sampai pos III dan membutuhkan waktu kurang lebih satu setengah jam. Jika hujan deras maka debit sungai itu akan lebih banyak namun jika hujan hanya rintik, maka beberapa sungai akan nampak kering atau hanya berupa tetesan-tetesan air saja. Diantara beberapa sungai inilah kami mulai menanam bibit pohon yang kami bawa, semoga kalian tumbuh subur disana.

pendakian sumbing
Salah satu sungai yang membelah jalur antar Pos II dan Pos III

Bebatuan yang berserakan sepanjang sungai, sungguh sangat mempesona. Susunan kerapiannya tertata secara alami membentuk keajaiban yang sesunguhnya. Kurang lebih sepuluh sampai lima belas menit kita akan kembali mendapati sungai, begitu seterusnya sepanjang perjalanan. Setelah melewati sungai ke delapan, maka kita akan menemui pertigaan. Pertigaan inilah yang merupakan jalur pertemuan dari jalur Mangli Kecamatan kaliangkrik. Hati-hati jangan sampai belok kanan dan turun, karena itu artinya kembali ke jalur Mangli. Tidak jauh dari pertigaan jalur Mangli ini pos III berada. Area camping di pos III sudah diperluas sehingga muat sekira empat hingga lima tenda.

Secara geografis, base camp Butuh terletak di sisi selatan gunung Sumbing. Oleh karena itu rute dari pos I ke Pos II berjalan naik ke arah utara. Sesampai di pos II maka perjalanan akan berbelok tajam ke arah timur gunung Sumbing. Inilah alasan kenapa medan dari pos II ke pos III lumayan datar namun membelah bukit-bukit dari sisi sampingnya.

Pos III – Pos IV, Merindukan Pohon Tunggal

Pohon Tunggal adalah sebutan untuk sebuah pohon yang memang berdiri sendiri di sebuah kawasan yang vegetasinya sudah didominasi oleh tumbuhan pendek sebagaimana sabana. Disitulah pos IV berada dan disitulah pula kami akan mendirikan tenda.

Perjalanan dari pos III menuju Pos IV berupa medan kombinasi antara rute yang lumayan landai dan juga tanjakan namun tak sebegitu terjal. Di rute ini masih tersisa dua buah sungai yang harus kita lewati karena jumlah total sungai ada sepuluh buah. Sungai terakhir atau sungai ke sepuluh adalah sungai yang sangat lebar dibanding sungai lainnya. Air di sungai kesepuluh ini juga relatif akan lebih konsisten untuk mengalir. Pemandangannya sangat eksotis, batu-batu besar berserakan dan gemericik air mengalir menjadikan suasana romantis penuh pesona.

Di sungai terakhir ini kami istirahat beberapa waktu, bersujud mengingat-NYA, serta mengisi botol air kosong yang sudah dipersiapkan dari bawah. Jika ingin menambah perbekalan air, maka sungai di sungai kesepuluh ini harus diisi karena sudah tidak ada sungai lagi. Airnya jernih, rasanya juga begitu segar, lebih segar dari air es tawar apalagi air mineral botolan.

Mt. Sumbing
Bismillah, menanam pohon

Sungai kesepuluh ini sudah berada di arah timur gunung sumbing, bahkan sudah lebih condong ke arah timur laut. Sebagaiman letak Pohon Tunggal adalah berada di sisi timur laut gunung Sumbing. Perjalanan dilanjutkan dengan menaiki tanjakan-tanjakan yang tidak begitu terjal juga beberapa medan landai hingga bertemu dengan pertigaan kedua. Pertigaan ini merupakan titik temu jalur dusun Petung desa Ngemplak kecamatan Windusari. Jangan sampai keliru belok kanan dan menurun, untuk mencapai puncak perjalanan dilanjutkan dengan mengambil arah lurus dan menanjak.

Medan setelah pertigaan titik pertemuan jalur Petung tadi lumayan terjal, sampai akhirnya kita akan menemukan pos IV atau Pohon tunggal. Jika badan sudah mulai capek, maka medan untuk mencapai pohon tunggal ini cukup melelahkan. Sesampai di pohon tungal ternyata sudah ada tiga tenda yang berdiri. Mereka bukanlah pendaki yang naik dari jalur Butuh yang sudah naik pada hari sebelumnya, karena kawan pendaki itu sudah turun dan berpapasan di perjalanan antara pos II dan Pos III. Tetapi ketiga tenda tersebut adalah para pendaki yang naik melalui jalur Mangli.

gunung sumbing
Rute Pos II - Pos IV

Kurang lebih dua jam waktu yang diperlukan dari pos III menuju pos IV ini. Tepat dimana hari sudah mulai gelap, kami sampai di pos Pohon Tunggal. Senja menghilang, Magrib menjelang. Tenda kami dirikan bersama bisikan angin malam yang mulai menyentuh badan. Tak seberapa lama kawan pendaki dari Tangerang juga menyusul datang dan ikut mendirikan tenda.

Malam terasa syahdu. Ketupat ayam saus tiram menghangatkan tubuh kami malam itu, saling membual cerita dalam temaram lampu tenda menutup malam dengan badan lelah yang terselimuti hangatnya sleeping bag. Terimakasih Tuhan, bangunkan kami esok pagi sebelum mataharimu menghias bumi pertiwi.

Sunrise Pohon Tunggal, meninggalkan kesan bahwa keindahan Tuhan tak Terbantahkan.

Kring-kring. Alarm berbunyi, dua rokaat menanti. Cuci muka atau setidaknya sapu dengan tisu basah agar wajah tak begitu mengkilat oleh cahaya pagi. Meski belum kawasan puncak, namun pos Pohon Tunggal sudah sangat ideal untuk berburu matahari pagi. Kawasan ini sangat terang hanya ditumbuhi oleh rerumputan, jadi ketika jingga keemasan menantang di ufuk timur sana, maka apa lagi yang hendak diucapkan selain ucap syukur atas nikmat Tuhan yang begitu istimewa tak terbantahkan.

sunrise sumbing
Sunrise Pohon Tunggal
pohon tunggal sumbing
Menyambut dan mendekap sunrise pohon tunggal

Menggapai Puncak, Memburu Kecantikan Segara Wedi

Matahari sudah merangkak menaiki tangga langit, pacu semangat karena puncak terlihat begitu gagah di atas sana. Tenda dan peralatan-peralatan lainnya kami tinggalkan di pos IV. Perjalanan dimulai kembali untuk menuju puncak. Dengan cuaca yang sangat terang, pemandangan nampak begitu istimewa. Deretan perkampungan dan kota di bawah sana beradu dengan kilatan sinar matahari, bukit-bukit nampak menghijau sungguh anugerah tak terkira. Satu jam perjalanan dari pos IV ini maka kami mendapati Puncak Sejati Gunung Sumbing atau disebut juga puncak Kaliangkrik. Tuhan maha baik, sesampai di puncak pemandangan begitu cerah. Tebing-tebing batu menjulang tinggi mengitari kawah gunung sumbing, Nampak di area kawah tersebut kepulan asap yang menandakan bahwa kawah gunung Sumbing masih aktif. Gagah, eksotis, tak ternilai, kami takjub.

puncak gunung sumbing
Puncak Sejati Gunung Sumbing Jalur Magelang

Puncak Sejati gunung Sumbing bukanlah tujuan akhir pendakian, bagi yang masih punya nyali dan tentunya tenaga maka perjalanan bisa dilanjutkan dengan masuk ke area kawah dan mendaki lagi menuju puncak Buntu atau Puncak Rajawali. Puncak Buntu merupakan puncak tertinggi di gunung Sumbing yang lebih mudah dijangkau jika pendakian dilakukan dari arah Garung Wonosobo atau arah Temanggung. Namun jika pendakian dilakukan dari arah Magelang, maka untuk menujunya pendaki harus masuk dulu ke area kawah.

Jangan pesimis dulu, justru di area kawah inilah beberapa keajaiban Tuhan bisa kita temukan. Untuk menuju kawah ini ada dua jalan. Pertama dapat ditempuh melalui jalur Watu Tunggangan, jalur ini landai dan menurun. Jalur Watu Tunggangan ini terletak sekira sepuluh menit sebelum puncak, berupa pertigaan ke arah kanan dan menurun. Jalan yang kedua yaitu melalui Watu Lawang. Watu Lawang adalah satu keajaiban Tuhan yang terdapat di puncak Sumbing ini. Bentuknya mirip dengan sebuah pintu, namun pintu tersebut tersusun secara alami membentuk pesona keindahan, sayangnya vandalisme telah mengotorinya. Jalur yang kedua ini juga terletak sebelum puncak Sejati. Perlu kehati-hatian ekstra jika ingin menuju kawah melalui Watu Lawang ini. Medannya sangat curam, mungkin kemiringannya 75 sampai 80 derajat. Jika kita masuk ke lubang watu lawang ini, maka hampir tak percaya bahwa ke bawah sana ada jalan yang bisa dilewati. Disarankan pendaki yang sudah berpengalaman jika ingin melewati jalur Watu Lawang ini.

Puncak sumbing
View kawah dari puncak sejati

Dengan penuh keyakinan, setelah puas menghirup kesegaran udara dan memuaskan dahaga mata, kami putuskan untuk menuju kawah melalui jalur watu lawang ini. Dua tangan dan dua kaki harus saling menopang, tak jarang kita harus berjalan dengan merambat agar pijakan kaki kuat tak tergelincir. Dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit untuk menuruni watu lawang ini hingga sampai di kawasan sabana.

sumbing
Watu Lawang, semoga yang berbuat vandalisme di sini lekas waras

Ujung dari Watu Lawang adalah kawasan luas dan datar yang merupakan sabana nan indah. Batu-batu besar berserakan dimana-mana, saling berhimpit dengan hijaunya sabana mampu mencipta pesona Indonesia yang luar biasa. Kanan-kiri depan-belakang adalah tebing-tebing batu curam yang tertata mencipta lukisan alam tak ternilai harganya, di kawasan sabana kawah ini kita seperti di bawa pada jaman batu yang teramat indah.

Terus berjalan menyusuri bebatuan itu, tak seberapa lama padang sabana hadir di depan kita. Sabana Roman Taji, begitulah penduduk sekitar menyebutnya, bak taman di dalam syurga. Sebuah sabana indah nan mewah yang terletak di area kawah.

sumbing
Kawasan kawah sumbing sebelum sabana

Terus berjalan menyusuri sabana jangan lupa pandangi setiap sudutnya, perjalanan dilanjutkan dengan kembali menaiki tanjakan yang tak seberapa tinggi. Bertemu kembali dengan dataran, disitulah kawah gunung Sumbing mengepulkan asap. Aroma belerang, tumpukan-tumpukan batu putih kekuningan dan gemuruh suara kawah mendidih menyajikan panorama luar biasa. Di kawasan kawah ini juga terdapat makam Kyai Makukuhan, sosok yang diyakini sebagai penyebar agama di lereng gunung Sumbing.

Sabana hijau nan cantik, gemuruh kawah dan panorama bebatuannya, belumlah selesai keajaiban di puncak gunung Sumbing ini. Satu lagi primadonanya, Segara Wedi disebutnya. Segara Wedi yang bisa diartikan sebagai Lautan Pasir, adalah kawasan berupa endapan pasir dari aliran kawah gunung Sumbing. Aliran kawah gunung Sumbing yang mengarah ke utara ini meninggalkan sedimentasi di kawasan yang lebih rendah. Pasir putih kecoklatan mengendap dan menjadikan kawasan itu bak lautan pasir. Sungguh mempesona, tidak rugi perjalanan secapek dan sesusah apapun akan terbayar disini.

gunung sumbing
Taman Surga Sabana Gunung Sumbing

Tiga spot dalam satu kawasan puncak kawah ini benar-benar menghadirkan pengalaman yang berbeda. Sabana Roman Taji, Kawah dan Segara Wedi akan terus terngiang keindahannya meski kabut kehidupan menyelimuti segenap pikiran.

kawah sumbing
Kawah Gunung Sumbing

Setelah puas berkeliling dan menikmati kawasan puncak kawah ini, ternyata matahari sudah meninggi. Kabut dan angin saling membalap, sebentar kabut sebentar terang. Sebenarnya masih ada satu titik lagi yang akan kami singgahi yaitu puncak Buntu atau puncak Rajawali. Untuk mencapainya dari arah kawah ini, tinggal melanjutkan perjalanan dengan menaiki tanjakan di atas area kawah. Namun siang itu kabut terus menebal, daripada bertaruh harapan, maka keputusan untuk kembali ke pos pohon tunggal adalah pilihan yang lebih masuk akal, terlebih satu kawan kami staminanya sudah mulai menurun.

Untuk kembali ke pos Pohon Tunggal maka jalan yang ditempuh dari kawah adalah melewati jalur yang satunya yaitu jalur landai atau yang disebut sebagai Watu Tunggangan. Sepertinya tidak mungkin jika kembali keatas dengan melalui jalur Watu lawang karena jika dilihat dari bahwa, jalur watu Lawang ini sangat terjal. Jadi tidak direkomendasikan, bahkan juga oleh penduduk sekitar Sumbing.

segara wedi
Segara Wedi

gunung sumbing
Segara Wedi

Benar saja, belum juga kami sampai di kawasan puncak, hujan sudah turun. Akhirnya perjalanan pulang dari puncak ke pos IV atau pos Pohon Tunggal kami lalui dengan hujan-hujanan. Perbekalan yang kami bawa waktu itu hanya peralatan untuk minum saja, sedangkan jas hujan kami tinggal di tenda. Sesampai di tenda hujan masih juga belum reda. Baju basah segera kami ganti dengan yang lebih hangat, tak lupa perut juga perlu segera dihangatkan. Siang itu menunya soto ayam. Kuahnya yang mengepulkan asap dan aroma gurihnya begitu lezat disantap saat perut sudah lapar ditemani gemerincik hujan.

Jangan Lupa Pulang, karena orang terkasih selalu menantimu

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.00. ketika hujan mulai reda. Segala peralatan dan perlengkapan dipacking kembali ke dalam carrier, tak lupa sampah-sampah dikumpulkan kedalam trashbag untuk dibawa kembali pulang. Jarum jam sudah bergeser kembali mendekati angka 16.00, perjalanan turun kami lanjutkan. Sekali lagi Tuhan Maha Baik. Sore itu gunung Sumbing hanya menyisakan rintik gerimisnya, tidak ada hujan lagi. Perjalanan turun menjadi lebih lancar. Kurang lebih empat jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke base camp kembali. Jam 19.45 badan kami kembali tergeletak di base camp.

gunung sumbing
Rumah terhangat di puncak

Mata sudah mulai mengantuk, badan juga sepertinya tak begitu prima jika harus memacu kuda besi kembali ke Yogyakarta. Akhirnya kami meminta ijin kepada bapak dukuh untuk menginap di base camp dan melanjutkan perjalanan pulang esok harinya.

Sumbing, pesonamu selalu meninggalkan kesan. Masih ada harapan suatu saat aku kembali menjumpaimu, semoga dengan wajahmu yang lebih segar dan lebih hijau.

rute jalur sumbing
Read this!
sumbing jawa tengah
Keajaiban penuh rahasia
jalur pendakian sumbing magelang
Wonder Woman
jalur sumbing
Berpaling dari matahari
pendakian jalur sumbing

Kebahagiaan penuh cerita

Teruslah melangkah, karena dengan melangkah berarti bergerak, dan dengan bergerak maka berarti hidup.

Sahabat Lamperan The Explorer:
Sholeh Fasthea, Khoiril Mawahib, M. Nur Fadhli, Muhammad Mustofa , Lathifah Vajarini

Cadasnya Curug Sri Gethuk

Air mengalir sampai jauh, tapi air terjun selalu saja jatuh.
Alam memang selalu menawarkan rasa penasaran, kekaguman dan kebahagiaan.

Salam petualangan sobat explorer.

 
Pada coretan kali ini Lamperan The Explorer ingin kembali berbagi cerita perjalanan, dan cerita kali ini adalah eksplorasi di curug atau air terjun Sri Gethuk Gunung Kidul. Yogyakarta memang istimewa, apalagi destinasi wisatanya, dan dari sekian spot maka Gunung Kidul atau sering juga disebut Jogja lantai dua layak menjadi favoritnya. Gunung Kidul menyimpan banyak kekayaan alam mulai dari Goa, pantai, air terjun, sungai dan sebagainya, dan bagi anda yang berkunjung ke Jogja tentu akan menyesal jika tidak mengunjungi salah satu panorama alam yang terhampar di Gunung Kidul ini.

Air Terjun Sri Gethuk memang telah menjadi fenomena wisata yang sangat terkenal di area Yogyakarta. Salah satu hal yang menjadikan curug Sri Gethuk menjadi terkenal adalah bahwa curug ini mempunyai keunikan dibanding curug pada umumnya. Jika pada curug lain, pengunjung datang untuk menikmati segarnya guyuran air terjunnya, tetapi kalau di curug Sri Gethuk lebih banyak pengunjung akan datang karena ingin menikmati airnya yang telah jatuh ke bumi dan mengalir di sungai yang indah.


Ya, sungai. Keindahan sungai di bawah air terjun Sri Gethuk dan juga eksotisme pemandangan ngarai di kanan kiri sungai adalah satu keunikan yang sulit ditemui pada air terjun lainnya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Gunung Kidul merupakan daerah dengan struktur tanah berupa tanah karst yang cadas. Rupanya tanah karst inilah yang memunculkan fenomena eksotis nan indah di sekitar air terjun Sri Gethuk. Keindahan air terjun Sri Gethuknya sendiri bisa dibilang tidak terlalu spesial, sama dengan air terjun pada umumnya. Tetapi justru pemandangan di sekitarnya, seperti ngarai dan sungai telah menghipnotis para explorer. Bisa dibilang pemandangan di air terjun Sri Gethuk ini tidak jauh beda dengan keindahan Green Canyon di Pangandaran maupun Green Canyon sesungguhnya yang di Amerika sana.

 

Rute Eksplorasi



Rute untuk menuju air terjun Sri Gethuk bisa ditempuh dari arah Yogyakarta menuju Wonosari. Setelah melewati Pathuk dan mendapati pertigaan Gading, explorer mengambil arah kanan atau arah Playen. Di pertigaan Gading ini juga sudah terdapat plang arah menuju air terjun Sri Gethuk, sehingga tidak perlu khawatir jika tersesat. Untuk selanjutnya explorer cukup mengikuti plang yang sudah ada sampai menuju dusun Menggoran, desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Setelah sampai pada loket retribusi, segera siapkan uang untuk membayar tiket retribusi sekitar Rp. 3.000 agar bisa segera menikmati indahnya ngarai dan sungai cadas serta menikmati segarnya air terjun Sri Gethuk.

 

Ada goa juga loh…


Di lokasi wisata ini selain air terjun Sri Gethuk, explorer juga bisa menikmati wisata alam lain yaitu berupa goa karts yang bernama Goa Rangcang Kencana. Untuk masuk goa ini biasanya gratis tapi jika explorer menggunakan jasa pemandu maka cukup membayar pemandunya saja. Goa Rancang Kencana berupa goa yang pendek dan sempit, sehingga explorer harus menunduk ketika memasukinya, lumayan lah untuk sekedar mengenalnya. Konon goa ini dijadikan tempat pertapaan dan persembunyian pada masa penjajahan dulu.

 

Foto-foto saja boleh, mau berenang apalagi...



Jika explorer ingin langsung menikmati wisata air terjun Sri Gethuk, maka dari lokasi tiket, explorer bisa terus memacu kendaraanya ke bawah sesuai arah yang telah ada, jika lurus maka menuju goa Rancang Kencana. Di lokasi air terjun Sri Gethuk telah terdapat fasilitas wisata seperti warung makan, mushala dan toilet. Dari lokasi parkir kendaraan, keindahan ngarai sudah terlihat begitu memikat begitupun juga aliran sungai dan dentuman air terjunnya. Bagi explorer yang ingin langsung menuju air terjun maka bisa menggunakan perahu kayu yang disewakan dengan harga Rp. 5.000 per orangnya. Explorer akan dibawa menyusuri sungai menuju air terjun Sri Gethuk begitupun juga nanti ketika pulang dari lokasi air terjun menuju parkiran. Namun jika ingin lebih menantang explorer bisa berjalan kurang lebih 20 menit menyusuri jalan setapak yang telah dibangun dengan paving block  sembari tengok kiri kanan menyapu jajanan yang telah disediakan warung-warung kecil di pinggir sungai, dan tiwul merupakan salah satu jajanan khasnya, recommended deh untuk dicoba
.


Sesampai di lokasi air terjun Sri Gethuk, explorer bisa menikmati segarnya air terjunnya atau sekedar cuci mata, baik cuci mata pakai air atau cuci mata yang lain. Sedangkan kalau ingin menikmati sensasi renang di alam terbuka, telah disediakan juga pelampung untuk disewa dengan harga Rp. 5.000 saja. Air yang mengalir di sungai merupakan air terusan dari air terjun Sri Gethuk yang telah melewati batu-batu karst kemudian air tersebut mengalir sampai jauh, sejauh keindahan yang tak pernah terlupa.





Selamat bereksplorasi, semoga hidupmu selalu bahagia.

Berlayar Tanpa Layar ke Gunung Prau

Nenek moyangku orang pelaut/ gemar mengarungi luas samudra/ menerjang ombak tiada takut/ Menempuh badai sudah biasa.

Jadi ceritanya kita mau berlayar? Oh tidak. Tapi kita naik Prau saja? Loh kok? Bukannya Prau itu di laut? Bukan, ini nama gunung.

Prau dalam bahasa jawa artinya kurang lebih adalah perahu atau kapal laut. Setidaknya itu menurut saya, terus kalau gunung yang di wonosobo itu apa betul diberi nama prau yang berarti perahu atau kapal laut karena berbentuk menyerupainya? Entahlah. Kemarin pas saya naik ga sempet nanya sama penjaga base campnya, lawong itu base camp sesak penuh manusia kok.

Di atas tadi penggalan dialog siapa ya?
Kerja terus kapan pikniknya? Kuliah terus kapan jalan-jalannya?
Lagi-lagi retorika….


Oke. Kali ini Lamperan The Explorer akan kembali bercerita tentang eksplorasi tim ke gunung Prau, salah satu destinasi wisata favorit di negeri para dewa, kawasan wisata Dieng Plateu.

Say goodby to Jogja


Jumat 15 Mei 2015, pukul 15.00 perjalanan menuju Wonosobo dimulai. Eh eh… gunung Prau itu ikut administrasi Wonosobo apa Banjarnegara ya? Tanya gubernur Jateng dulu sana!.

Jogja kita tinggal dulu ya. Kemudian jogja menjawab: Pergi saja, ga pulang juga ga papa, kalian Cuma bikin sesak Jogja saja. Kami tertegun. Sedikit. Dalam hati, tanpa lubuk. :D
Sore itu enam ekor kuda besi melaju menyusuri rute Jogja-Magelang-Borobudur-Sapuran-Kertek-Wonosobo-Dieng.

Rute ini merupakan rute terdekat untuk menuju kawasan wisata Dieng dari arah Jogja. Yang asyik dari rute ini adalah lumayan sepi dengan suguhan pemandangan khas pedesaan yang ajib gile, terutama setelah memasuki rute dari Borobudur-Sapuran-Kertek. Berlika-liku ga jalannya? Jelas kalau itu, seperti hidupmu yang penuh lika-liku. Tapi yang penting cepet laku.

Rahasia Tiga Cerek


Sampai di kota Wonosobo, langit sudah gelap. Tapi di alun-alunnya lumayan terang. Ya iyalah banyak lampu disitu. Badan sudah pegal, mejeng-mejeng diki bolehlah di alun-alun wonosobo. Cari angkringan asyik deh. Lah kok ga di Jogja ga di Wonosobo ngangkring melulu sih?.

Ohya iseng-iseng kita tanya sama mas-masnya yang jual angkringan, kenapa cereknya (tekonya) mesti tiga biji?. Kata si masnya sebagai hiasan saja, sekalian sebagai penutup agar bara apinya ga bikin panas pengunjung yang duduk di depannya. Bahkan mas angkringan yang asli berasal dari Parakan Temanggung ini sampai membuktikan bahwa satu diantara dua cerek itu ga ada isinya. Alias bener-bener cuma hiasan. Kesimpulannya, setiap tukang angkringan punya jawaban beda-beda ketika ditanya filosofi tiga cerek di angkringannya. Emang pernah tanya ma penjual angkringan lainnya? Ya iyalah disempetin? Kok sempet-sempetnya sih, emang lagi penelitian skripsi apa?

Menuju Base Camp


Dari kota wonosobo menuju base camp gunung Prau masih membutuhkan waktu sekitar 30 sampai 45 menit. Medan jalan kebanyakan berupa tanjakan dan kelokan yang indah pake banget. Tapi waktu itu malam hari. Keindahannya dibayangkan saja.

Basecamp Patak Banteng (Dari namanya saya sempat berfikir apa disitu dulu banyak kepala banteng ya. Patak=Kepala/ Jawa) merupakan salah satu base camp favorit para pendaki dari arah Wonosobo. Lamperan The Explorer telah googling informasi bahwa bas ecamp Patak Banteng telah pindah. Namun pada waktu kami hendak membelokkan motor ketika menemui plang base camp Patak Banteng, tiba-tiba seorang bapak-bapak menyuruh kami untuk memakirkan motor di base camp yang dulu. Sama aja dong. Ya sudah, kami nurut saja. Eh la sampai disitu ternyata sudah penuh sesak. Akhirnya kami disuruh parkir di masjid, eh di halaman masjid maksudnya. Alhamdulillah, sekalian menunaikan kewajiban dan MCK gratis. Sayangnya retribusi parkir di situ cukup malakin kita orang, yaitu 10 K @. Beda sama di gunung-gunung lain yang rata-rata setengahnya. Ini sekedar kritik saja ya, semoga mas-masnya ngerti. Bukan masalah angka, tapi kok ya ga sreg aja gitu di dompet tuh.

Malam itu Patak Banteng bener-bener berjibun kepala manusia. Kepala lele dan kepala ayam juga banyak, apalagi ayam kampung hem….., tapi kepala-kepala itu dah digoreng di warung. Kalau lapar ya mampir saja dulu.

Pendakian atau Antrian sembako gratis?


Pukul 23.00, setelah istirahat cukup lama, setelah perut terisi beberapa camilan, setelah belanja beberapa perlengkapan tambahan, dan setelah-setelah yang lainnya banyak sekali, pendakian pun dimulai. Dari tempat parkir ini kita kembali berjalan menuju base camp (Baru) untuk mendaftarkan diri. Cukup Rp. 10.000 saja untuk tiket pulang pergi naik Prau tanpa layar, kalau ini sih wajar. Tap, ternyata pemirsa, di base camp juga berjibun kendaraan parkir. La terus tadi kenapa kita ga boleh, mau belok dan parkir di situ. Ini pasti perebutan wilayah kekuasaan, hahahahaha jangan-jangan ada haji lungtulung di situ….. sok politis.

Prau memang dikenal sebagai salah satu gunung dengan spot sunrise terbaik. Alasan inilah yang menjadikan Prau menjadi salah satu golden destination untuk berburu cahaya emas di pagi buta. Sepanjang jalur pendakian hampir tidak putus manusia terengah-engah nafasnya, bahkan beberapa kali kita harus ngantri ketika melewati medan terjal. Ini orang pada mau ke gunung atau mau pada ke balai desa ambil sembako gratis ya….ramai bener?


Medan pertama berupa lahan pertanian penduduk yang didominasi oleh tanaman kentang. Ada juga sih beberapa tanaman daun bawang, buncis, sawi dan sayur lainnya. Kalau saja ada petani yang jual di situ kayaknya enak deh kalau buat bekal. Terus buat oseng-oseng gitu tinggal tambahin sosis siap santap hemmm…….delicioso. Tapi yang ada malah para penjual gorengan, dari mulai pisang goreng, kentang goreng, tempe kemul, mendoan, tempe kripik, dan teman-teman gorengan lainnya. Sebentar-sebentar…… kok tiga nama gorengan terakhir itu kayaknya makanan yang sama ya, iya ga sih?. Coba lakukan riset saja.

Pada umumnya jalur pendakian Prau didominasi oleh tanjakan yang lumayan terjal. Jika habis terkena hujan jalur akan lumayan licin mengingat struktur tanah yang labil dan berlumpur. Tapi untungnya pada beberapa bagian tanjakan telah dibangun oleh masyarakat sekitar dengan memberi undakan berupa bambu. Tentu ini sangat membantu. Meskipun terkadang jalur licin itu ada manfaatnya, terutama bagi cowok yang sok pahlawan pura-pura nolong gebetannya yang manja-manja gimana gitu pura-pura mau terpeleset, atau juga bermanfaat bagi jomblo yang lagi berusaha menyelamatkan calon jodohnya dari bahaya terpeleset juga, ingat ya calon jodohnya, maksudnya calon jodohnya orang lain. Kebanyakan orang yang dekat denganmu itu hanyalah titipan tuhan, titipan yang sewaktu-waktu akan diambil oleh jodoh sesungguhnya.

Ayam Bakar Versus Kehangatan Sleeping Bag


Sekitar pukul 01.30 kami sampai di camping ground area atau sunrise camp. Ada berapa tenda yang sudah berdiri? Ratusan…. Prau sudah berubah menjadi gundukan tenda. Ya sudahlah, sekalian saja kita ikut berdesak-desakan siapa tahu nanti ada hawa hangat bersinggungan.

Tenda sudah berdiri, tapi hawa hangat itu belum juga hinggap. Maka air panas segera dijerang, tak lupa ingkung ayam yang sudah menempuh jalur panjang Jogja-prau akhirnya menemukan juga bara arang panasnya. Beberapa tim malah sudah tidur pulas, Novi dan Ninin tak rela perutnya diganjal daging ayam bakar yang empuk lagi mak nyuss nyuss nyusss. Anggap saja begitu. Mereka memilih melahap dingin dalam kantung sleeping bag. Anget dong?. Masya Allah.

Rini, Laila dan Sefi perlahan mendekat juga, pasti mereka tergoda dengan aroma kulit terbakar berbumbu kecap di sepertiga malam yang terakhir (Bukannya tahajud malah pada begadang mantengin ayam). Astagfirullah. Nanda (Coba tebak cewek apa cowok?) yang tadinya sudah meringkuk di SB dipaksa bangun juga. Terkadang di puncak gunung, tidur itu lebih nikmat daripada menyantap makanan lezat. Tapi ingat, dalam kondisi dingin dan capek, pendaki harus memastikan bahwa asupan energi tetap maksimal agar tidak terjadi kesalahan yang berakibat fatal seperti hipotermia dan penyakit bahaya lainnya. Bahkan pusing karena perut lapar, sepertinya terdengar seperti penyakit ringan, bisa jadi merupakan salah satu gejala yang bisa jadi berakibat pingsan.


Ayam bakar sudah disantap. Ngobrol-ngobrol dikit sudah mantap. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat. Mau tidur tanggung, karena sunrise sebentar lagi muncul. Tapi ya tetap saja dengkur membahana, apalagi yang namanya Arif Yuswanto juragan demisioner 2014. Kalau sudah masalah tidur, sepertinya Arif selalu tergila-gila, seperti tergila-gilanya Arif sama ceweknya, maksudnya cewek dalam bayangan semunya. Oyil apalagi, sudah jauh-jauh hari merencanakan ke Prau tetapi Sunrisenya cukup di dalam hangatnya sleeping bag, untung dia punya ketrampilan Photoshop. La terus kenapa repot-repot naik gunung ya? Jawabannya hanya Tuhan dan Oyil yang tahu. Banyu Awut Arfan Sodik parah lagi, katanya mau bersolawat menunggu matahari akhirnya juga terlelap dalam mimpinya bertemu bidadari yang nyangkut di terminal Temanggung, eh pas didatengin ternyata tu bidadari lagi nunggu cowok lain, mak nyas rasanya. Nanda jangan ditanya, mungkin dia memang merasa lelah, katanya mau cerita ke mamaknya di Lampung kalau telah melihat sunrise Prau, eh ceritanya cukup lewat mimpi juga. Pasukan lipstik sepertinya yang sebagian pada melek, tapi ya ga tahu juga kebenarannya, kan kita beda tenda. Hatinya aja yang sama, sama-sama merasa sehati. Ah masak sih????. Nampaknya hanya ki juru pandu yang terus nutup telinga ga kuat ngedengrin teriakan-teriakan allay berseliweran di puncak gunung.


Prau Itu yang Bikin Greget Bukan Gunung Praunya itu Sendiri, Melainkan Sinar Matahari yang Menerangi Gunung-Gemunung di Sekitarnya


Pukul 05.00 WIB, para pemburu cahaya emas sudah siap dengan kameranya. Jangan sebut kata selfi disana, pasti semua orang melakukannya. Apalagi si krucil Sefi, namanya saja beda-beda dikit sama selfi bukan? Tak ketinggalan para krucil yang lain pasang badan, dijamin batre kameranya sampai ngedrop. Maklum krucil magifo, mahasiswa gila foto. Pagi itu sunrise benar-benar istimewa, lebih istimewa dari Cherry Belle tentunya. Apalagi Anisa Rahma dah ga jadi personilnya, makin biasa aja jadinya. Tapi katanya Cherry Belle masih lumayan istimewa terutama bagi Joda Akbar (jomblo muda berlagak sabar) macam si banyu awut mak nyas Arfan Sodik dan marketing mobil semut Arif Yuswanto contohnya.

Langit nampak cerah. Semburat keemasan melingkari angkasa. Gunung gemunung menunjukkan kegagahan sekaligus kecantikannya. Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Ungaran dan lamat-lamat jauh Lawu menebar pesona. Semua mewujudkan panorama lukisan alam yang tiada bandingnya. Hanya syukur yang bisa merasakan kedamaian ciptaan-Nya. Tuhan memang Maha Istimewa.


Cahaya matahari semakin terang, pemandangan gunung Prau berubah menjadi jejalan tenda dan kepala manusia. Coba hitung berapa jumlah manusia yang belum cuci muka? Pasti banyak ya, bahkan mungkin tak terhingga. Lagian siapa juga yang mau nyempetin menghitung kan?. Kami mencoba memutari menuju bukit teletubbies, hem…sayangnya tidak ada Tingky Wingky, Dipsi, Lala dan Pooh disana. Berjalan keatas bukit sebelah barat, satu lagi eksistensi Tuhan menampakkan gagahnya. Gunung Slamet yang masih berstatus waspada.

Pemandangan yang lebih dekat juga tak kalah mempesona, kepulan asap sulfatara kawah sikidang, Candi Arjuna, serta telaga Warna dan Telaga Pengilon begitu damai bersemayam dalam dingins. Lengkap sudah lukisan alam menyempurnakan eksistensi-Nya.

Sayonara


Matahari mulai terik, perut sudah kembali terisi beberapa Logistik. Semua lukisan alam sudah dicapture untuk dibawa pulang. Maka tenda dan seluruh peralatan segera dipacking. Tak lupa sampah masuk trash bag biar kembali ke asalnya. Perjalanan pulang tak kalah hebat dengan perjalanan pendakiannya, maksudnya tak kalah hebat ngantrinya. Anggap saja seperti kumpulan ribuan balita ngantri mau turun lewat eskalator, dijamin rusuh. Parah gila. Begitu kok di gunung. Begitu kok ya kami termasuk salah satunya.

Pukul 14.30 WIB. Istirahat sudah cukup lama, badan sudah wangi lagi, apalagi digebyur dengan mandi air panas cap 5000, cacing-cacing perut sudah dikondisikan dengan semangkuk bakso (sayangnya tak begitu recommended) dan sepiring nasi prasmanan lengkap dengan lauk-pauknya (kalau ini mantap, ala-ala warteg pedes gitu), maka perjalanan pulang dimulai. Jogja selalu menyisipkan rindu untuk kembali bersua.

Sayonara Prau, layarmu tak berkibar, tapi cahaya emasmu terus mengibarkan kerinduan yang tak terkira. Semoga suatu saat yang damai, engkau tetap bisa menikmati sunyimu tanpa perusuh seperti kami.










Salam Lestari, salam satu jiwa, salam satu bumi, Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.

Lamperan The Explorer in action;
Ki Juru Pandu Sholeh Fasthea, Oyil Spesialis sweeper Khoiril Mawahib, Marketing mobil semut Arif Yuswanto, Banyu Awut Mak nyas Arfan Sodik, Rini bukan menterinya jokowi bukan juga penyanyi, dan kali ini bersama krucil-krucil baru: Nanda, Novi, Laila, beserta teman-teman baru yang masih krucil-krucil juga: Ninin, dan Sefi.